Cerita Kos-Kosan: Akibat Tak Kenal NAMA Penghuni




“Laksmiiiiiiiiiiiiiiiii..........”

Begitu menggelegar pekikan di minggu pagi itu. Satu kosan kaget mendengar suara yang seperti tengah geram dengan sesorang itu. Sontak, sebagian penghuni kos yang belum beranjak dari mimpi indahnya, terbangun. Suara itu berasal dari salah satu teman satu kos yang biasa kami panggil Susan. Ia memekikkan nama itu, karena ada tamu yang mencari Laksmi di kosan kami. Karena baru bangun tidur dan belum stabil, Susan hilang control, hingga keluarlah lengkingan dahsyat itu. 

 “Waduh, siapa yang berantem pagi ini?” bisik saya dalam hati, sambil memeluk bantal guling.  

Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang tertatih. Langkah itu berasal dari lantai atas menuju ke tangga, untuk menghampiri sumber suara.

“Siapa yang mencari saya?“ 

Seorang wanita berambut putih dengan daster biru menapaki anak tangga. Ia menghampiri sumber suara. Umurnya sekitar 60 tahun. Namun ia terlihat masih gagah, meski keriput menghiasi wajahnya. Nenek ini, sudah 5 tahun lebih mondok di kosan kami, bergabung bersama dengan kami yang berumur separuh dari usianya. Keluarganya ada di kampung. Di Jakarta ini, ia mencari nafkah sebagai suster atau merawat orang yang sakit. 

“Hah, kok nenek yang turun?” kata Susan kaget.
“Iya, tadi ada yang manggil nama saya, kan?” Kata si nenek.
“Lho, jadi Laksmi itu nama nenek, toh?”
“Iya”
”Aduh, maaf nek, selama ini aku gak tau kalau nama nenek itu Laksmi.. Maaf ya, nek, ” kata Susan malu.
“Iya, gak apa-apa. Ada apa memanggil saya?,” tanya  si nenek
“Oh, itu ada tamu yang mencari Nenek. Dia masih ada di luar,” jawab Susan.

Ternyata eh ternyata......... Susan tak mengetahui kalau wanita yang paling tua di dalam kos-kosan kami mempunyai nama Laksmi. Padahal, ia sudah setahun satu atap bersama Nek Laksmi. Selama ini, Susan dan anak anak-kosan lain, termasuk saya, hanya memanggil “Nenek’ jika menyapanya.  Bagi kami, sebutan “Nenek” kepada Nek Laksmi, sudah cukup untuk  menghargai beliau. Walhasil, ketika ada seseorang yang mencari Laksmi di kosan, Susan pun bingung. Ia mengira, si empunya nama sebaya dengannya. 

“Kalau gue tau Laksmi itu nama si nenek, gue gak akan selancang itu kali. Gak mungkin gue manggil namanya sekeras itu. Duh, gue jadi gak enak sama si nenek,” ujar Susan saat berkumpul bersama kami di kosan. Anak-anak kos yang mendengar ceritanya di ruang tamu, hanya bisa tertawa sekaligus ya gimana gitu ya, hihihihi. 

Makanan ala anak kos, saat amsak sendiri di kos (biasanya beli mulu di warteg, hahaha)

Ternyata, begitu pentingnya mengetahui nama teman satu kos. Penting, agar lebih akrab. Penting, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Penting, agar ketika ada yang mencari seseorang apalagi yang dicari adalah anak baru, kita bisa menunjukkan di mana kamarnya. Dan yang paling penting lagi, agar ketika ada pak pos yang mengantar paket, kita bisa tau siapa nama yang dimaksud oleh si pengirim. 

Gara-gara tak mengenal nama, saya pun hampir saja “menghilangkan” paket salah satu teman kos. Saat itu, kebetulan saya yang menemui pak pos.  

“Ada gak di kosan ini yang namanya Fransiska Rawita?” Tanya pak pos sambil menyodorkan paket kecil yang terbungkus kertas coklat.

“Setahu saya, tak ada yang namanya Fransiska di kosan ini, Pak,” jawab saya sambil mengamati nama yang tertera pada paket .

“Tapi alamat ini bener, kan, mbak?" Pak Pos penasaran sambil mencocokkan plang alamat yang tertera di depan pintu kosan.

“Iya, alamatnya bener pak, tapi gak ada yang punya nama ini ”, saya kembali menegaskan. 

Pak Pos hampir pergi. Tiba-tiba, Shinta, salah satu anak kos yang lain keluar dari dalam kamarnya. Ia menghampiri saya dan pak pos karena mendengar obrolan kami.

“Oh, ini paketnya si Ita, mbak. Fransiska Rawita itu, nama aslinya Ita,” ujar Shinta menjelaskan  sambil membaca nama yang tertera  di paket.

Owalah, kalau si Ita mah, saya tau. Tapi, saya gak tau kalau nama aslinya berbeda dengan nama  yang biasa kami panggil. Du..du..du, andaikan Shinta tak keluar kamarnya, mungkin saja si pak pos telah pergi, dan paketnya entah akan mendarat kemana. Ternyata, tak cukup hanya sekedar mengenal nama panggilan semata, nama asli atau nama lengkap teman kos pun patut diketahui. 

Nama, adalah identitas seseorang. Karena nama juga, kita bisa berteman dan berinteraksi.. Tapi, kalau lupa dengan nama seseorang, atau sama sekali tak tahu, padahal sudah sering bertemu, duh, bisa kaku urusan.

Meski begitu, saya pun, masih suka lupa dan tak tahu nama orang-orang yang ada disekitar. Seperti kemarin, Bu RT  di lingkungan saya kos, menyambangi kosan untuk menemui Nek Laksmi. Saat itu, saya berada di dalam kamar. Iseng, Bu RT mengintip saya dari balik celah pintu yang sedikit  terbuka. Nek Laksmi pun teriak.

“Awas mbak Eka,  diintip mbak Vivi, tuh,”  Canda Nek Laksmi. 

“Siapa  Vivi?” Celetuk saya dengan entengnya.  

“Mbak Vivi itu, Bu RT”, kata Nek Laksmi.

Oh My God, 5 tahun saya ngekos di kampung ini, saya baru tau kalau nama Bu RT adalah Vivi. Padahal, selama ini, jika saya melewati rumahnya, tak segan-segan beliau berbasa-basi  memanggil nama saya. Tapi, saya malah tak tau siapa namanya. Oh, saya jadi malu, saya merasa telah mengabaikan seseorang. 

Saya jadi ingat kata-kata teman kerja di kantor yang dulu, “Ingat ya, setiap kali kamu bekerjasama dengan orang, entah itu klien, nara sumber, atau orang-orang yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kita,  usahakan diingat namanya.” Kata-kata ini, sudah terdengar di telinga saya 10 tahun lalu. Namun, saya baru memahami maksudnya belakangan ini. 

Hmmm, beberapa waktu lalu, dengan akrabnya saya menyapa seorang teman di suatu acara. Saya mengenal wanita ini belum lama, sih. Karena sempat berkenalan dan ngobrol di acara talkshow sebuah brand, saya jadi menggingat dia, “Hai, Wiwik, apa kabar, kita ketemu lagi akhirnya disini” saya menyapanya  dengan senyum manis,.

“Eh, kamu. pa, kabar juga. Eh iya, siapa namu kamu, saya lupa..?” katanya sembari menyedot minuman dingin.

Ups, begini rasanya kalau nama kita tak diingat, padahal saya sangat menggingat namanya.








Ragam Budaya dan Aksi di Festival Panen Raya Nusantara 2017



Pendongeng asal Aceh, PM Toh tengah menghibur anak-anak dan pengunjung, saat saya tiba di panggung Festival Panen Raya (PARARA) 2017, hari kedua, Sabtu (14/10/2017). 

Ia bercerita tentang pentingnya fungsi tumbuhan dengan menggunakan berbagai atribut dongeng yang unik. Ia memegang styrofoam berbentuk daun besar, sambil menceritakan tentang daun dan kehidupannya. 

Suara speaker yang menggelegar dan jernih, menjadi pemikat orang, tua muda, untuk menonton dan mendekati area panggung. Didukung pula cuaca yang bersahabat, tidak panas, namun juga tidak mendung, di Taman Menteng Jakarta Selatan, tempat acara itu berlangsung.

Apa yang didongengkan PM Toh, tentu saja berkaitan dengan tema yang diangkat tahun ini “Jaga Tradisi, Rawat Bumi". Festival dua tahunan ini memang bertujuan untuk memberikan informasi mendasar tentang arti penting produk-produk lokal buatan komunitas-komunitas lokal. Dari situ, tentu saja menjadi pembelajaran bagi kita agar bisa menjaga tradisi dan merawat hasil bumi.

PM Toh Mendongeng
 
Dari hasil bumi itu pula, di sekitar lokasi, berhamparan pajangan kerajinan hasil bumi khas daerah yang ada di Indonesia. Ada 70 komunitas dan masyarakat adat, yang unjuk gigi dan memamerkan karya mereka. Mereka datang langsung dari daerahnya, tapi adapula komunitas yang tinggal di Jakarta, tapi produk yang mereka jajakan memang berasal atau dikirim dari masyarakat adat. Produk-produk tersebut merupakan hasil kolaborasi panjang antarwirausaha yang terdiri dari sejumlah komunitas dan pekerja kreatif yang dibangun selama fase prafestival. Ada kain-kain cantik dan ulos dari pulau Flores dan Sumba, NTT. Harganya bervariasi, ada yang per dua meter, Rp 400.00-an.


Kain khas NTT


Ada pula kreasi anyaman bambu yang dibentuk topi, tas, wadah fungsional, dsb. Di booth Yayasan Anak Papua, bisa ditemukan beberapa kerajinan dari anyaman bambu tadi. Jika ingin melihat kerajinan batok kelapa yang dibentuk menjadi bunga matahari, motor vespa, tas, hiasan dinding, dll, persis di sebelah booth Papua.

Ragam kerajinan di PARARA 2017

Ada pula yang menjual biji kopi, dan menghidangkan ragam kopi dari nusantara, namanya Sindikat Kopi Lokal. Selama di Festival, boleh icip-icip gratis kopi di booth ini. Dan booth ini selalu ramai. Bearti orang Indonesia banyak yang pecinta kopi ya, hehehe. Di dekat booth Sindikat Kopi, ada yang sedang sibuk Cupping Session. Barista professional Andro Kaborang, tengah memandu acaranya. Tak kalah ramai orang menyaksikan aksinya dari dekat. Wah, lagi-lagi coffee efek nih, hihihih

Booth Sindikat Kopi Lokal

Tak jauh dari aksi Cupping Session, saya menghampiri penjual jamu kemasan dalam botol. Ada jamu temulak dan jahe merah serta jamu kunyit asam. Dua-duanya enak di lidah saya saya. Saya mencicipi samplenya, sebelum menentukan pilihan mana yang akan saya beli.  Harganya Rp25 ribu per botol. 

Jamu

Di ajang ini, kalau tak ada sajian kuliner, tentunya tak komplit dong ya. Jadi, selain minuman, bisa juga icip-icip makanan. Seorang ibu menawarkan saya roti. Katanya, roti itu dibuat oleh anaknya yang berumur 16 tahun. “Dari umur 4 tahun, anaknya saya sudah belajar masak, dan ini hasil kreasianya dia,” kata si ibu sambil memamerkan home industry-nya. 

Suasana Parara 2017

 
Kerajinan dari biji bijian, bak lukisan


Setelah berkeliling ke beberapa booth di Parara 2017, saya terhenti di lokasi panggung utama, tempat PM Toh mendongeng tadi. Di titik ini, sedang berlangsung gladi resik (GR) peragaan busana/ fashion show yang dibawakan para model. Ow, para peragawati tubuhnya langsing-langsing, sang peragawan ganteng dan badannya atletis. Lumayan cuci mata, hahahha. GR dilakukan agar saat membawakan busana pada malam harinya, para model bisa menguasai medan, sehingga berlangsung lancar. Ada ragam busana tenun dengan empat tema, salah satunya karya Yoga Wahyudi yang bakal dipamerkan.

Para Model saat  Gladi Resik

Sayangnya, ketika malam tiba, dan kembali ke area ini lagi (sebelumnya saya sempat pergi ke tempat lain) fashion shownya sudah selesai, jadi terlewat deh. Tapi, beruntung, saya masih sempat menyaksikan live music band-band indi. Ada Sandrayati Fay, dan Ari Reda, menyuguhkan suara dan musiknya yang menawan. Terlena saya mendengar suara mbak penyanyinya. Band indi itu emang unik, keren dan kece ya. Walau mereka tak terkenal secara komersil, tapi penggemarnya tak kalah banyak, karena karya mereka yang asik didengar.


Live Music Band Indi, Ari reda


Itu cerita hari kedua.

Di hari pertama, yang menarik perhatian saya dan beberapa pengunjung lain adalah  dandanan seorang bapak yang memakai baju adat Kalimantan Utara bersama alat musik. Namanya, Eliyas Yesaya. Saat saya lewat, ia tengah memainkan alat musik "Keng" dari bambu, ciri khas Suku Dayak Lundayah Kalimantan Utara dan rompi yang dipakainya dari jenis kayu Talun (sejenis sukun). Saya mampir sebentar, melihat aksinya memukul “Keng” ke lengan pengunjung, hingga menimbulkan bunyi khas. 

Eliyas Yesaya, (kanan)memainkan alat musik "Keng"


Nah, hari ketiga, Minggu (15/10/2017) yang merupakan hari terakhir festival ini, saya tak mengunjunginya lagi, karena capek, hehehe. Oh ya, Pada Festival Panen Raya Nusantara PARARA 2015, yang merupakan pertama kalinya ajang diselenggarakan, saya ikut menyaksikan juga lho. Bisa dibaca di sini dan di sini kisahnya.

PARARA 2017 bukan sekadar perayaan, namun juga terobosan bagi community enterprises (perusahaan berbasis masyarakat) yang berkelanjutan. Festival ini berusaha menjadi katalisator guna mendukung penjualan produk-produk lokal yang berkelanjutan dengan menggaet para pengambil keputusan serta konsumen. Dan bagi saya yang tinggal di Jakarta, senang sekali, bisa melihat kerajinan khas dari daerah nun jauh di sana.

Semoga saya bisa berjumpa lagi di PARARA selanjutnya. 



Sumber: panenrayanusantara.com