Masjidnya Satu, Berkahnya Rame-rame



Berkah Mengaji

Nur Bintang Ismail (4 tahun) tampak paling lincah sore itu diantara teman-teman sebayanya. Baru saja kelar belajar mengaji bersama ustadzah pembimbingnya, Muthi’ah (20), ia langsung bermain bersama teman-teman sepengajiannya. Sementara, murid-murid lainnya menunggu giliran antrian mengaji.  



Ismail (belakang) bermain di sela sela belajar mengaji

Tak lama, Ismail--panggilan akrabnya--dipanggil ibunya. Ia disuruh mewarnai huruf-huruf Al Quran di buku gambar dengan pensil pewarna yang sudah disiapkan. Ismail kecil mulai mewarnai sambil tengkurap di lantai. Sang ibu yang sedari tadi menemaninya, ikut mengarahkan agar gambarnya bagus. Riuh rendah sore itu karena suara-suara bocah kecil yang belajar mengaji, tak membuat Ismail terganggu.

Nicole, Gadis Australia yang 'Takjub' dengan Ojek Online, Selfie dan Bahasa Gaul

Nicole Curby, gadis asal Australia yang saat ini satu kantor sama saya, salut sekali dengan ojek online. Dengan adanya transportasi berbasis aplikasi ini ia merasa terbantu. Jumlah drivernya banyak, ongkosnya murah meriah asik, dijemput persis di depan kamar, eh di depan rumah atau kantor, berseliweran di mana mana, khususnya di kota-kota besar macam Jakarta, Surabaya dan Medan.

Hampir 2 tahun ini Nicole menetap di Jakarta, bekerja di sini. Ojek online-lah yang mengantarnya saat pergi ke kantor begitu juga saat pulang.

Kalau tak ada ojek online, Jakarta yang macet tentu akan menyusahkan Nicole. Kebiasaan ini tentu berbeda jauh saat dia berada di kampungnya, Sydney, yang kemana-mana biasanya menggunakan sepeda.

Di sini (Indonesia) ada gojek yang luar biasa, on aplication. Gak ada di Australia, aku senang sekali pakai (ojek online) setiap hari, kemanapun” kata Nicole.

Nicole Curby

Nicole mengaku tak ada kendala, soal bahasa misalnya, dengan driver ojol saat menikmati transportasi daring itu. “Paling ojeknya gak tahu jalan, jadi saya arahkan," katanya.

Ia bercerita, saat sedang dalam perjalanan, driver ojek sering mengajak ngobrol, kadang Nicole tak mendengar pertanyaannya karena suasana lalu lintas yang berisik, sehingga pertanyaan jadi tidak jelas. Tapi, Nicole mengerti dan tahu pertanyaan apa biasanya yang diajukan para driver. Kalau sudah begitu maka Nicole akan menjelaskan seperti ini:

 “Saya Nicole dari Australia, saya dua tahun di Jakarta untuk kerja, kantor saya di Menteng. Iya, ada kangguru di Australia dan saya belum menikah, hahaha"

Kami yang mendengar cerita Nicole tertawa. Jadi apapun pertanyaannya, jika suasana sedang brisik, maka Nicole akan menjawabnya seperti itu.

Nah, ngomongin soal tertawa, Nicole kaget melihat suasana kantor kami, mungkin juga kantor Anda, yang karyawannya boleh tertawa, bercanda, bernyanyi atau tidur-tiduran di meja saat jam kerja. Karena, kata dia, kalau di Australia budaya kantornya selalu hening karena semua orang fokus pada pekerjaannya. Tak boleh tertawa, bernyanyi apalagi tidur-tiduran di meja. Kalaupun bicara, ya seperlunya, dan tidak dengan suara yang keras. So, Jika ada karyawan yang melakukan hal-hal seperti tadi, akan ditegur (semacam etika) jadi para karyawan tak berani melakukannya.

Pada awalnya, dia kaget melihat budaya kantor kami, tapi lama-lama dia menikmatinya, karena kantor jadi terkesan santai. Tapi, soal gosip, sama saja, di Australia juga gosip selalu ada. Biasanya, kata Nicole, para karyawan bergosip saat makan siang, hmmmm..


Nicole lagi serius
Mengamati orang Indonesia, Nicole mengatakan kalau bangsa kita ramah. Yuhu! Selain ramah, ia juga melihat orang Indonesia santai, seperti tidak dikejar waktu. "Saya lihat orang Indonesia kalau berjalan sangat santai (pelan), tidak terburu buru. Padahal Jakarta kota besar kan. Kalau di Australia, kebiasaan di sana, orang berjalan selalu terburu-buru atau cepat,’ ujarnya.

Selain itu, saat berada di jalan atau trotoar, ia juga suka melihat orang, gak tua gak muda, pede sekali berselfi ria. Kata Nicole, di negaranya, kalau sering selfie pasti malu. "Kalau anak-anak, di Australia, gak apa-apa selfie, kalau dewasa, malu, apalagi kalau diupload di media sosial, apalagi kalau berdiri di luar (di jalan) sambil selfie dilihat orang, malu. Kalau di Indonesia tidak, tapi karena itu, aku juga ikut mencoba selfie’ kata Nicole tertawa.

Selain soal selfie, Nicole juga salut dengan kreatifitas masyarakat kita yang relatif sangat cepat mempolulerkan kata-kata gaul dan mempersingkat kata-kata. Misal: Nasi Goreng jadi NASGOR, dll. Karena di kantor kami para karyawan sering memakainya, maka, kata-kata singkatan, seperti: mager, gaptek, jadul, curhat, PW, CLBK, Jojoba, juga sudah dimengerti Nicole. Pun, kata-kata gaul seperti Kepo, ia juga tahu. Di Australia, kata Nicole juga ada bahasa slank-nya (bahasa gaul), tapi, perubahannya (kepopulerannya) tak secepat seperti di Indonesia.

Masih soal kebiasaan kita. Kata Nicole, kalau di Australia, jika ada teman yang berulang tahun, maka orang lainlah yang akan mentraktir orang yang sedang berulang tahun itu. Lah, kalau di sini, yang ulang tahun yang traktir, hihihi.
Nah, kalau soal makanan, rupanya gadis yang berulang tahun 21 Desember ini, banyak menyukai makanan khas Indonesia. Ia suka tempe, gado-gado, ketoprak, nasi goreng, lontong sayur, mie ayam, makanan Manado, dan lain-lain.
Sebelum ke Indonesia, aku 12 tahun vegetarian. Makin lama di Indonesia, aku pengen makan daging, jadi sekarang aku gak vegetarian lagi, karena aku makan bubur ayam, sate, ikan, rendang“ ujarnya.

Meski begitu, Nicole belum pernah mencoba somay, bakso dan pempek, karena makanan tersebut baginya terlihat tidak enak dan mempunyai rasa ikan/daging yang sangat kuat. Itu yang membuatnya tak suka. Bukan bearti Nicole tak suka ikan, tapi ia gak mau kalau ikan tadi diolah jadi penganan atau makanan. Ia mau menyantap, kalau ikannya berbentuk utuh.

Sementara, kalau buah-buahan, ia tak menyukai durian. Tapi buah lain, seperti mangga dan belimbing, ia suka. Menurutnya, mangga di sini rasanya lebih enak di sini daripada di negara asalnya.

Oh ya, Nicole pernah mengajarkan kami bahasa Inggris lho. Ada hari khusus yang kami jadwalkan untuk belajar bersamanya. Karena baru pertama kali mengajar Bahasa Inggris, Nicole mengaku sempat menelpon ibunya, curhat, menceritakan kegugupannya, hihihihi.

Saat belajar Bahasa Inggris sama Nicole


Selama bekerja dan bergaul dengan kami, Nicole gadis yang ramah. Ia membaur dan tak pernah jaim. Banyak yang menyayanginya. Misalnya, jika ada anak kantor yang bawa makanan dari mana gitu, mereka ada yang khusus memberikannya untuk Nicole. Banyak cerita-cerita seru yang kami dapatkan dari Nicole soal Australia, salah satunya, yang saya tuliskan di blog ini.

Namun, cerita seru itu, sepertinya akan jarang kami dapatkan lagi. Karena, Jumat (15/12/2107) adalah hari terakhirnya bekerja di kantor kami. Hikssss..... sedih, ah. Sebagai farewell, ia mentraktir kami makan siang sekantor. Ada nasi kemangi beserta lauk-pauknya, ia sajikan di hari itu. Sebagai kenang-kenangan, kami juga memberinya baju batik. Semoga kamu suka ya, Nic.

Saat farewell, Nicole dapat kenang-kenangan baju batik
Bersama sohib kental di kantor

Saat pulang kampung pada 22 Des 2017 nanti, Nicole mengaku belum ada rencana ia akan bekerja di mana. Ia akan menikmati Natal dulu bersama keluarga. Meski begitu, Ia berharap, bisa bekerja di radio yang ada di negara kangguru itu. Pengalamannya sebagai reporter radio sekaligus editor program di Indonesia, masih memikat hatinya untuk melanjutkannya di sana.

Waktu ngobrol bersamanya di hari-hari terakhirnya, saya baru tahu kalau ia ternyata seorang Sejarawan. Ia pernah kerja di Melbourne sebagai sejarawan. Rupanya, ia memang kuliah di jurusan sejarah, di University of Sydney, lulusan 2009. Nah, kalau saya gak ngobrol, gak bakal tahu! Pantesan, dulu waktu ngobrol di pantry, Nicole sempat menjelaskan soal Suku Aborigin yang ada di Australia, lengkap dengan petanya. Rupanya itu memang bidangnya dia. Keren, Nic!
Semoga saya kembali ke sini tahun depan. Kangen sama makanan Indonesia. Tapi, Saya gak mau kangen sama macetnya, untunglah ada ojek online, jadi semua lancar,’ kata Nicole senang.

Sampai jumpa lagi, Nic! We love You!

Foto bareng di farewell Nicole

Kalau tadi kisah teman dari Australia, bagaimana cerita teman kantor saya yang berasal dari Jerman? Apa katanya tentang Iwan Fals dan Raisa? Dan apa saja hal menarik di Jerman? Sila baca kisahnya di Tobi dan Jerman.

Alergi Minuman Dingin


Kenapa sih, yang enak-enak kok dilarang. Kenapa juga sih yang nikmat-nikmat tapi harus saya tolak. Hiksss. Kalau saya nekad, maka badan saya akan meriang manja. Gejalanya muncul, hanya beberapa jam setelah melanggarnya. Itu karena saya menderita alergi minuman dan makanan dingin. 



Kalau minum es, entah itu es bungkus, es campur atau jenis es-es lainnya, tenggorokan langsung terasa panas dan lecet. Kalau saya masih bandel melanjutkan mengkonsumsinya, maka, gak usah nunggu keesokan harinya, malam itu juga badan saya akan demam, lesu, manja, dan kalau parah, akan sakit kalau menelan. Komplit sekali bukan?

Eh sedihnya, semakin ke sini, efek dari minum es berlebihan, ternyata sudah merambah ke penyakit lain lagi. Batuk! Yup, saya akan teruhuk-uhuk berhari-hari jika minuman tersebut telah bereaksi dalam tubuh saya. Duh, bertambahlah penderitaan. Namun, kalau lagi kepengen, ya saya cicipi juga. Tapi, hanya sedikiiiit saja. Misalnya, ngiler ngeliat teman memesan es kopi, dengan tetesan embun dingin yang meleleh di gelasnya....oh... terpaksa... saya cicipilah seteguk dua teguk pakai sedotan plastik, hehehe. 

Atau, jika saya memesan jus, maka saya akan wanti-wanti kepada si abang pembuat jusnya, agar bongkahan batu es nya, sedikiiittt saja dicemplungin ke dalam adonan jus. Kalau gak…wah…sama aja saya menyedot es secara total. Intinya, asal ada rasa dingin aja, itu sudah cukup. Kalau dingiiiin sekali, bisa kalang kabut, karena sudah paham sekali dengen efek sampingnya.

Namun, semakin usia bertambah, meski hanya seteguk dua teguk saya menikmatinya, maka gejalanya akan kambuh. Dulu tak begitu lho, kalau masih 1-2 teguk minum dingin, tubuh saya masih bisa bertahan. Oh, usia tak bisa boong, ya :D

Saya mengalami hal ini sejak kecil. Kata dokter, saya menderita radang tenggorokan. Dokter yang lain lagi, bilang, saya punya amandel, tapi kecil.  Hampir saja lho saya operasi amandel. Pas diperiksa, kata dokter amandelnya kecil sekali, dan bisa hilang tanpa operasi. Selain ke dokter, pengobatan non medis pun saya lakoni. Ibu saya mengajak ke tabib, namun tak ada hasil. Lalu ke pengobatan tradisional lainnya, dianjurkan, saya harus minum air perasan nanas muda, dan lain lain. Namun, penyakit itu tak kunjung sembuh jua.  

Ketika saya sudah dewasa, dan mempelajari kondisi plus gejolak tubuh saat minum dingin, barulah saya sadar, kalau saya menderita alergi minuman dingin, BUKAN radang tenggorokan ataupun amandel. Yang namanya alergi, tentulah tak ada kata sembuh, karena ini sudah bawaan tubuh. Yang harus dilakukan adalah menghindari faktor pencetus si alergi tadi. Ya, si minuman dingin itu. 

Di IG, cuma bisa foto es-nya orang, tapi gak bisa ngonyelnya :((

Meski sudah menghindari, ada kalanya saya tergoda juga melihat yang dingin-dingin. Dan selanjutnya, bisa diduga. Awalnya demam, flu, batuk ringan, lama-kelamaan jadi batuk berdahak berminggu-minggu. Sudah berobat ke beberapa dokter, eh tak kunjung sembuh. Padahal, resep obat yang diberi bukanlah obat generik, tapi obat yang mahal.

Setelah berobat ke dokter specialis paru di rumah sakit yang ada di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, dan diberi obat paten, barulah sembuh. Sampai sekarang, kalau batuk kambuh sampai berminggu minggu, saya gak bisa sembuh kalau tak mengkonsumsi obat dari dokter specialis paru tadi. Dan saya harus perginya ya ke rumah sakit yang sama. Karena, kalau beda RS dengan dokter yang beda pula, takutnya resep yang diberikan belum tentu semujur dokter di RS tadi. Repot sekali ya.

Nah, ada kalanya juga nih, saat kambuh dan berobat ke RS tersebut, dokter yang saya cari sedang tidak praktek. Walhasil, ya ketemu sama dokter umum atau dokter yang sedang bertugas. Saya pun mengakalinya. “Dok, saya hanya bisa sembuh jika mengkonsumsi obat paten dari Dokter Paru yang ada di RS ini juga,” itu yang saya ucapkan saat bertemu dokter umum. Untunglah data saya terarsip di sana. Jadi, dokternya tinggal membuka file saya, dan tertera obat apa saja yang diresepkan oleh dokter paru. Untungnya, dokter umum tersebut mau memberikannya. Meski begitu, uang yang dikeluarkan tentulah tak sedikit.

Nah, sekarang, karena rajin browsing syantik sambil tiduran manja, dan baca-baca artikel tentang alergi, saya menemukan obat anti alergi yang mengandung antihistamin. Murah meriah cucok. CITIRIZINE namanya. Yang punya alergi, mungkin sudah mengenal obat ini. Tapi, saya baru tahuuuuuuuuu!!!


CITIRIZINE

Meski murah (karena obat generik), rupanya obat ini cukup mempan di tubuh saya. Ketika gejala batuk dan demam tiba karena mengkonsumsi sedikit minuman dingin, sedikiiiitttt lho ya, saya langsung terjang dengan obat ini plus obat batuk cair yang khusus untuk alergi. Tapi, kata apotekernya, minumnya harus dikasih jeda, karena dua obat ini sama-sama mengandung antihistamin.

Alhamdullilah, kali ini yang kedua kalinya saya mengalami gejala batuk dan demam karena minum minuman dingin, dengan obat ini saya bisa pulih, tak perlu ke dokter spesial paru lagi dan ATM saya aman. Terima kasih Tuhan, sudah mengenalkan saya dengan Citirizine. 


Si Obat manja

Btw, selain Citirizine, adapula obat yang paten, namanya Incidal. Harganya sekitar 30 ribuan satu keping. Obat batuk lainnya untuk alergi ada pula Paratusin. Terserah pilihan Anda, mana yang cocok. Kalau saya sih cocok dengan Paratusin ini, harganya kurang lebih sama dengan Incidal.
 
Incidal dan Paratusin

Tapi, ada hikmahnya dengan alergi yang saya alami. Karena, tahu dong ya dengan efek negatif es, terutama sama bongkahan batu es. Apalagi  kalau kita belinya di luaran yang belum terjamin kebersihannya. Mana ngerti kita proses pembuatannya menggunakan pakai air masak atau tidak. Trus pake air sungai atau sumur, atau air....??? iih... Belum lagi, kalau airnya diberi kaporit (pemutih) misalnya, kalau terminum, tentu itu akan berpengaruh terhadap kesehatan.

Nah, kalau Anda, punya alergi apa?

#TumpukdiTengah, Pelayan Resto Senang

Kalau ada keluarga yang membawa anak kecil dan balita makan di resto, duh.....sudah dipastikan meja tersebut pasti hancur minah. Ini sering saya lihat ketika bersantap di resto cepat saji yang menyajikan ayam goreng. Tahu sendirikan kalau anak kecil makannya gimana? Padahal, sang orang tua, bisa banget kalau mau ngebantu. Tinggal ambil tisu (yang biasanya tersedia di meja resto) terus bekas ceceran air/kuah, lauk atau sisa tulang yang bergelimpangan tadi dikumpulkan di satu wadah atau piring. Lalu tumpuk ditengah. 


Soal tumpuk di tengah ini, tempo hari, saya mendengar siaran di salah satu radio di Jakarta yang lagi membahas soal gerakan #Tumpukditengah. Ini adalah gerakan untuk membantu pelayan resto agar memudahkan tugasnya saat membereskan meja makan, setelah pelanggannya pulang.

Jadi kalau kita makan di resto, apalagi kalau beramai-ramai, usai bersantap manja, peralatan makan (piring, cangkir, mangkuk sendok, dll) dikumpulkan di tengah meja. Supaya, saat pelayanan resto berberes, tinggal sekali angkat saja tumpukan tadi. Jadi ringankan tugasnya? Syukur-syukur kalau kita membersihkan juga sisa-sisa makanan yang tercecer di meja makan. Meja pun jadi bersih dan kinclong, cling..cling...cling....

Inisiator #TumpukDitengah adalah Edward Suhadi. Dalam wawancara radio itu, Edward menjelaskan, apa yang dilakukannya didasari dari kebiasaan keluarganya di rumah.

“Ibu saya suka berberes, selama saya kecil sampai tumbuh besar. Usai makan, semua piring diberesin dan ditumpuk ditengah agar mudah dibersihkan. Tanpa sadar, saya juga sering melakukan ini di mana-mana sampai saya dewasa” kata Edward.

Ternyata, menurutnya, gerakan #TumpukDitengah ini bisa menular. Ada teman-temanya yang sudah melakukan hal ini karena kebiasaan keluarga, tapi ada juga teman-temannya yang nyinyir melihat apa yang ia lakukan. 


Habis makan, jangan lupa #TumpukdiTengah ya Girls!

Memang, ketika makan di resto atau di cafe, entah itu bersama teman, keluarga atau sendirian, banyak yang malas membersihkan sisa makanan yang tercecer. Alasannya simpel: "Kita bayar kok makan disitu, kan ada pelayanannya yang bakal bersihin!" seperti itu biasanya jawaban yang kita dengar. Karena, kita terbiasa untuk dilayani oleh para pramusaji. Dari diantarkan makanan sampai meja dibereskan usai makan.

Memang betul, sih, ada pelayannya yang bakal membersihkan itu meja, tapi, apakah kita tega melihat pelayan tersebut membersihkan bekas ceceran sampah makanan kita yang begitu joroknya? Melihat mereka membersihkan betapa beceknya air minum/kuah yang tumpah di meja resto. Melihat mereka membersihkan sisa tulang belulang bekas kunyahan kita layaknya meja tersebut bekas pembantaian? 


Nah, dengan adanya gerakan #Tumpukditengah ini, lumayan bikin mas dan mbak yang bekerja sebagai pelayan resto, tersenyum. 

#Tumpukditengah


Berutang, Ada Etikanya Juga Lho!




Beberapa waktu lalu rumah kos saya didatangi oleh laki-laki yang mengaku debt collector. Ia mencari seorang wanita yang menurutnya mempunyai utang jutaan rupiah padanya. Hari itu ia menagih, karena yang punya utang sudah telat dari jangka waktu yang ditentukan untuk melunasinya. Menurut pengakuannya, ia sudah berkali-kali mendatangi rumah si wanita yang biasa ia datangi, yang sebut saja namanya si A. Tapi, yang dicari tak ada, bahkan terkesan kabur. Trus, kenapa ia mendatangai kos-kosan saya?

Nah, menurut informasi, si A ini, sering main ke kos-kosan kami, kebetulan teman saya yang juga salah satu penghuni kosan, berteman dengan si A. Namun, teman saya mengaku, saat ini ia tak tahu menahu di mana keberadaan si A.  Untunglah si debt collector yang perawakannya tak terlalu menyeramkan itu, percaya dengan omongan teman saya, tak lama ia pun pamit.
Saya yang mendengar percakapan tadi, gimana gitu loh ya. Udah kayak sinetron deh, pake didatangi sang penagih hutang.

Kabur dari rumah gegara takut ditagih hutang oleh debt collector adalah hal yang konyol, tak bertanggungjawab dan tak tahu etika. Ngutangnya enak, eh..pas mau balikin, susaaaaahh setengah mati. Ujung-ujungnya memilih menghilang, yang dianggap bisa keluar sedikit dari beban tagihan. Padahal, dihari-hari selanjutnya ia akan terus dihinggapi rasa ketakutan dan dibayangi was-was yang berlebihan karena merasa dikejar oleh hutangnya sendiri (tapi ini bagi yang sadar diri sih).


Jika dirasa tak mampu penuhi kebutuhan hidup sehari-hari, harus rajin ngerem duit dong, bukan foya-foya, yang berujung menabung hutang di mana-mana.

Apalagi, banyak yang berutang terkadang untuk urusan yang tidak terlalu mendesak. Seperti berutang karena ingin membeli handphone, padahal itu gadget dia udah punya. Ya, cuma kepengen beli yang lebih mahal dan canggih aja, biar bisa sepadan dengan teman-temannya, hahaha...

Ada lagi yang berutang karena ingin kumpul bersama teman-teman lama di mall. Reunian gitu ceritanya. Acara kumpul-kumpul itu akan dirayakan dengan makan-makan enak di resto yang mahal. Gengsi dong kalau gak punya uang, makanya berutang dulu sebelum berangkat reunian. Jadi berhutang demi gengsi, takut dibilang kere hingga  berutang sampai jutaan rupiah.


 

Kalau memang harus berutang, ya berutanglah secukupnya. Gak perlu sampai ber jut..jut..., kalau cuma untuk urusan foya-foya atau gengsi semata.

 

Bagi yang sering berutang, tahu gak, berutang ada etikanya, lho. Jika sebelumnya pernah berutang pada orang yang sama, maka jika ingin mengajukan utang lagi, yang kemaren-kemaren harus harus dibayar dulu, baru boleh ngutang lagi. Oke?

Jangan sampai berutang berkali-kali pada orang yang sama, tapi hutang yang dulu belum dibayar sama sekali, malah pura-pura lupa atau berharap orang tempat dia berutang, lupa, kalau dia  belum bayar utang. Itu bikin orang kesal, tempe eh tahu! 


Sepelupa-pelupanya orang, kalau urusan duit, biasanya si pemberi utang tak akan pernah lupa kalau dia pernah minjemin duit ke seseorang dan belum dibayar sama sekali sampai sekarang.  Saya juga termasuk orang yang pelupa. Tapi, saya tak akan pernah lupa dengan orang yang belum bayar utang sama saya, hahahha....

Kalau emang kita belum bisa bayar, mbok ya kita sebagai orang yang berutang harus mengingatkan kepada orang yang telah menghutangi kita, kalau ternyata kita belum bisa melunasi kewajiban sebagaimana yang telah dijanjikan tempo hari, karena sesuatu alasan, misalnya. 

Tak susah rasanya untuk mengucapkan kata-kata seperti: “Maaf lho mbak, aku belum bisa ya bayar pinjaman yang tempo hari, karena uangnya kepake buat biaya anakku masuk sekolah, mudah-mudahn bulan depan bisa saya lunasi”. 

Enak kan ya kalau ada basi-basi kayak gitu. Si pengutang pun justru akan memaklumi, malah jadi gak enakan. Tapi yang terjadi kebanyakan nih....udah dihutangin, pake pura-pura gak tau kalau dia belum bayar :((( 

Bukankah banyak kejadian orang yang bunuh diri, masuk penjara atau stres gegara utang yang banyak dan tak sanggup membayarnya. Namun, banyak orang tak menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran.  

Jadi, jangan coba-coba tuk menjadikan hutang sebagai sebuah kebiasaan apalagi tradisi. Karena, bagi yang terbiasa berutang, terkadang tindakan ini dianggapnya hal yang biasa. Saking biasanya, makanya banyak orang menyingkirkan urat malunya untuk mengemis pinjam duit sana-sani, yang ujung-ujungnya akan memberatkan dirinya sendiri.

Tentu kita gak mau dong jadi bahan omongan tetangga, teman-teman kantor atau komunitas kalau kita sering ngutang tapi gak bayar? 



 

Saya jadi inget sekitar dua tahun lalu, ada teman kantor, sebut saja namanya R, punya utang bejibun kepada beberapa orang kantor dengan jumlah ratusan ribu per orangnya. Entah untuk keperluan apa yang membuatnya harus berutang pada banyak orang itu? Padahal dia belum berkeluarga alias masih gadis ting ting. Eh, tiba-tiba dia resign, tanpa menyelesaikan urusannya terlebih dahulu. Wuhahahha.. Bisa ditebak dong, semua orang pada sibuk ngomongin dia, terutama yang hutangnya belum dia bayar sama sekali. Tak cuma satu dua orang yang resah, tapi banyak, cuy. Bahkan satpam kantor pun tak luput dari “korban” keutangannya. Duh....


Tak mau menyerah dengan kondisi hutang-hutang yang belum dibayar, salah satu teman kantor berinisiatif mendatangi satu persatu semua karyawan kantor sambil membawa buku dan pulpen untuk membuat list data.

Ya, masing-masing orang ia tanyai, pernah gak diutangi sama si R yang sudah resign itu? Kalau iya, maka dia akan mencatat nama kita beserta jumlah nominal uangnya. Termasuk saya juga kena korbannya, dan harus rela mengikhlaskan seratus ribu hasil keringat saya, yang entah kapan dia akan mengembalikannya :((


Utang..oh..utang bikin deg-degan, kesal dan galau. Bawaannya jadi bete dan resah, baik bagi si pengutang maupun bagi yang berutang. 

Jika terlalu sering Anda berutang dan tak mampu membayarnya, bahkan kata maaf pun terlalu jauh untuk Anda ucapkan (boro-boro berbasa-basi memberikan pengingat pada orang yang telah menghutangi), maka jangan heran, kalau Anda akan dicap orang sebagai pengutang yang tak pandai memainkan etika, hingga orang tak mau lagi meminjamkan Anda uang! 

Sebenarnya, menurut saya, obat yang mujarab untuk menghindari utang adalah: berhemat, dan wajib pandai mengukur diri. Itu saja. 

Kalau pendapatan kecil, ya,  bisa diukur dong pengeluaran perbulan kira-kira sanggupnya berapa. Jangan sampai gegara memenuhi hawa nafsu jadi menebar utang dimana- mana. Berutanglah sesuai kebutuhan. Menjadi orang yang bisa berhemat, pandai mengukur diri dan mengukur kebutuhan adalah hal yang paling sexy di dunia ini.  Jangan sampai Anda dicari debt collector atau dikejar-kejar orang karena tagihan yang menumpuk.




 


Cerita Kos-Kosan: Kamar Atau Gudang?

Mahluk halus itu suka kali ngetem di kamar yang sumpek, berantakan dan penuh. Jadi si penghuni kamar, bisa saja diganggu melalui mimpi atau hal-hal yang tak kita sadari.” Begitu kata Fany, salah satu teman kos saya. 


Ia melontarkan hal itu, karena kami sedang membahas soal mahluk halus. Pernyataannya sekaligus mengomentari soal mimpi yang saya alami beberapa hari lalu. 


Dalam mimpi itu, lantai kamar saya seperti di gedor-gedor oleh orang dari bawah kasur. Mimpi itu seperti nyata. Saya sampai takut. Mungkinkah itu pertanda saya 'diganggu” oleh mahluk halus?

“Makanya mbak, coba deh, kalau ada barang-barang yang tak terpakai di kamar, mending dibuang atau dikasih ke orang lain saja. Daripada kamar mbak jadi penuh dan berantakan” Kata Vindy, ikut nyeletuk disela-sela obrolan kami.
  
Kaget saya mendengar ucapan Vindy, karena meski kamar kosnya bersebelahan dengan saya, tapi seingat saya, Vindy belum pernah masuk kamar saya. Pintu kamar pun sering saya tutup rapat.

“Emang sih aku belum pernah masuk kamar Mbak Eka, aku cuma nebak-nebak aja, kok ” jawab Vindy lempeng, seolah tahu apa yang saya pikirkan.

“Tapi, saya sih merasa, isi kamar saya barang-barangnya masih berguna semua, kok,” saya menimpali.

“Coba aja diberesin lagi, mbak. Siapa tahu ketemu barang-barang yang tak terpakai,” Vindy tetap menyarankan saya.

Anjuran Vindy membuat hati saya tergerak. Besoknya, kebetulan hari libur kerja. Jadi, saya bisa mengeksekusi kamar yang tak luas itu. Emang sih, kamar saya rada berantakan dan penuh. Barang-barangnya memang harus ditata.

Saat membereskan kamar,....ternyata mas brooo....,ulalala... emang banyak sekali barang-barang tak terpakai. Di samping lemari, ada botol sirup dan botol minuman kaleng/kemasan. Sudah setahun isinya tak dituangkan ke dalam gelas. Posisi botol itu tertutupi oleh rak sepatu dan kantong-kantong kresek yang bergelayutan.

Di sudut kamar, ada tumpukan baju-baju yang tak terpakai. Baju-baju itu, sudah saya taruh di dalam kardus. Harusnya, sudah saya berikan kepada tukang pijit langganan saya. Ada pula sandal usang yang hampir hancur, talinya putus, kulitnya rontok, walah, kok masih ditaruh rapi di rak sepatu sih. Belum lagi kotak-kotak sepatu/high heels, ikut meramaikan kamar saya bak toko sepatu. Mengganggu pemandangan.

Bahkan, setelah saya buka kotaknya, ada beberapa high heels yang kondisinya sudah mengelupas karena kepanasan dan bertahun tahun tak dipakai.  Bekas botol atau kemasan kosmetik dan parfum pun, ikut mejeng di sela-sela meja. Semua barang itu tersimpan, terpendap, teronggok, dan termuseum dengan sendirinya. 

Saya pikir, siapa tahu barang-barang itu bakalan masih berguna atau didaur ulang gitu lho. Misalnya, bekas botol parfum digunakan untuk menaruh pensil/pulpen atau benda-benda lain.  Nyatanya, bertahun-tahun, botol-botol itu tak pernah disentuh. Saya jadi nyengir sendiri, ngapain coba saya membiarkan benda-benda bekas dan  usang itu ngetem di kamar. 

Tentunya ini bukan kamar kos saya, ini kamar orang. Gambarnya ngambil dari Canva :D

“Kok, kamar kamu kayak gudang, ya? Banyak banget barang-barangnya!” begitu salah satu komentar teman kantor, saat pertama kali saya ajak ke kosan. Saya hanya nyengir saja menanggapinya kala itu. Sedikitpun tak tergerak untuk berbenah.

Namun, lama kelamaan saya sadar. Selama ini, ruang tempat saya istirahat, layakkah disebut kamar? Atau lebih pantas disebut gudang? Maklum, sudah 10 tahun ini saya ngekos di Jakarta. Awalnya sih barang saya cuma seuprit, tapi seiring berjalannya waktu, jadi tambah banyak dan memenuhi kamar.  Di dukung pula dengan ukuran kamar kos yang tak luas, jadi terlihat seperti gudang.

Kini, barang-barang yang tak layak pakai lagi itu, sudah saya enyahkan. Kamar saya sudah lowong dan rapi. Bernafas pun lega. Walaupun, masih ada beberapa bagian yang menumpuk. Tapi, paling tidak, barang-barang itu masih terpakai.

Ah, benar juga ya arahan si Vindy. Berawal dari obrolan soal mahluk halus, eh, jadi menyasar ke soal beres-beres kamar. Emang sih, kudu rajin membenahi kamar. Karena, dari  bulan ke bulan, barang-barang di kamar kos akan bertambah banyak, dan akan menjamur  pula  barang-barang yang sudah tak terpakai lagi. Kalau dibiarkan, tentu menganggu kenyamanan dan estetika. Mending, diberikan kepada orang yang membutuhkan, agar tidak mubazir. 

Oh ya, botol-botol minuman kemasan dan botol sirup yang sudah lama ngetem, di kamar, untungnya belum kadaluarsa. Esoknya, saya bawa ke kantor dan ditaruh di meja pantry. Ouw, tak butuh waktu lama, isinya langsung lenyap, tinggal botolnya saja, hahaha. Coba dari dulu saya berbenah, hmmm..... 


 

Cerita Kos-Kosan: Akibat Tak Kenal NAMA Penghuni




“Laksmiiiiiiiiiiiiiiiii..........”

Begitu menggelegar pekikan di minggu pagi itu. Satu kosan kaget mendengar suara yang seperti tengah geram dengan sesorang itu. Sontak, sebagian penghuni kos yang belum beranjak dari mimpi indahnya, terbangun. Suara itu berasal dari salah satu teman satu kos yang biasa kami panggil Susan. Ia memekikkan nama itu, karena ada tamu yang mencari Laksmi di kosan kami. Karena baru bangun tidur dan belum stabil, Susan hilang control, hingga keluarlah lengkingan dahsyat itu. 

 “Waduh, siapa yang berantem pagi ini?” bisik saya dalam hati, sambil memeluk bantal guling.  

Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang tertatih. Langkah itu berasal dari lantai atas menuju ke tangga, untuk menghampiri sumber suara.

“Siapa yang mencari saya?“ 

Seorang wanita berambut putih dengan daster biru menapaki anak tangga. Ia menghampiri sumber suara. Umurnya sekitar 60 tahun. Namun ia terlihat masih gagah, meski keriput menghiasi wajahnya. Nenek ini, sudah 5 tahun lebih mondok di kosan kami, bergabung bersama dengan kami yang berumur separuh dari usianya. Keluarganya ada di kampung. Di Jakarta ini, ia mencari nafkah sebagai suster atau merawat orang yang sakit. 

“Hah, kok nenek yang turun?” kata Susan kaget.
“Iya, tadi ada yang manggil nama saya, kan?” Kata si nenek.
“Lho, jadi Laksmi itu nama nenek, toh?”
“Iya”
”Aduh, maaf nek, selama ini aku gak tau kalau nama nenek itu Laksmi.. Maaf ya, nek, ” kata Susan malu.
“Iya, gak apa-apa. Ada apa memanggil saya?,” tanya  si nenek
“Oh, itu ada tamu yang mencari Nenek. Dia masih ada di luar,” jawab Susan.

Ternyata eh ternyata......... Susan tak mengetahui kalau wanita yang paling tua di dalam kos-kosan kami mempunyai nama Laksmi. Padahal, ia sudah setahun satu atap bersama Nek Laksmi. Selama ini, Susan dan anak anak-kosan lain, termasuk saya, hanya memanggil “Nenek’ jika menyapanya.  Bagi kami, sebutan “Nenek” kepada Nek Laksmi, sudah cukup untuk  menghargai beliau. Walhasil, ketika ada seseorang yang mencari Laksmi di kosan, Susan pun bingung. Ia mengira, si empunya nama sebaya dengannya. 

“Kalau gue tau Laksmi itu nama si nenek, gue gak akan selancang itu kali. Gak mungkin gue manggil namanya sekeras itu. Duh, gue jadi gak enak sama si nenek,” ujar Susan saat berkumpul bersama kami di kosan. Anak-anak kos yang mendengar ceritanya di ruang tamu, hanya bisa tertawa sekaligus ya gimana gitu ya, hihihihi. 

Makanan ala anak kos, saat amsak sendiri di kos (biasanya beli mulu di warteg, hahaha)

Ternyata, begitu pentingnya mengetahui nama teman satu kos. Penting, agar lebih akrab. Penting, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Penting, agar ketika ada yang mencari seseorang apalagi yang dicari adalah anak baru, kita bisa menunjukkan di mana kamarnya. Dan yang paling penting lagi, agar ketika ada pak pos yang mengantar paket, kita bisa tau siapa nama yang dimaksud oleh si pengirim. 

Gara-gara tak mengenal nama, saya pun hampir saja “menghilangkan” paket salah satu teman kos. Saat itu, kebetulan saya yang menemui pak pos.  

“Ada gak di kosan ini yang namanya Fransiska Rawita?” Tanya pak pos sambil menyodorkan paket kecil yang terbungkus kertas coklat.

“Setahu saya, tak ada yang namanya Fransiska di kosan ini, Pak,” jawab saya sambil mengamati nama yang tertera pada paket .

“Tapi alamat ini bener, kan, mbak?" Pak Pos penasaran sambil mencocokkan plang alamat yang tertera di depan pintu kosan.

“Iya, alamatnya bener pak, tapi gak ada yang punya nama ini ”, saya kembali menegaskan. 

Pak Pos hampir pergi. Tiba-tiba, Shinta, salah satu anak kos yang lain keluar dari dalam kamarnya. Ia menghampiri saya dan pak pos karena mendengar obrolan kami.

“Oh, ini paketnya si Ita, mbak. Fransiska Rawita itu, nama aslinya Ita,” ujar Shinta menjelaskan  sambil membaca nama yang tertera  di paket.

Owalah, kalau si Ita mah, saya tau. Tapi, saya gak tau kalau nama aslinya berbeda dengan nama  yang biasa kami panggil. Du..du..du, andaikan Shinta tak keluar kamarnya, mungkin saja si pak pos telah pergi, dan paketnya entah akan mendarat kemana. Ternyata, tak cukup hanya sekedar mengenal nama panggilan semata, nama asli atau nama lengkap teman kos pun patut diketahui. 

Nama, adalah identitas seseorang. Karena nama juga, kita bisa berteman dan berinteraksi.. Tapi, kalau lupa dengan nama seseorang, atau sama sekali tak tahu, padahal sudah sering bertemu, duh, bisa kaku urusan.

Meski begitu, saya pun, masih suka lupa dan tak tahu nama orang-orang yang ada disekitar. Seperti kemarin, Bu RT  di lingkungan saya kos, menyambangi kosan untuk menemui Nek Laksmi. Saat itu, saya berada di dalam kamar. Iseng, Bu RT mengintip saya dari balik celah pintu yang sedikit  terbuka. Nek Laksmi pun teriak.

“Awas mbak Eka,  diintip mbak Vivi, tuh,”  Canda Nek Laksmi. 

“Siapa  Vivi?” Celetuk saya dengan entengnya.  

“Mbak Vivi itu, Bu RT”, kata Nek Laksmi.

Oh My God, 5 tahun saya ngekos di kampung ini, saya baru tau kalau nama Bu RT adalah Vivi. Padahal, selama ini, jika saya melewati rumahnya, tak segan-segan beliau berbasa-basi  memanggil nama saya. Tapi, saya malah tak tau siapa namanya. Oh, saya jadi malu, saya merasa telah mengabaikan seseorang. 

Saya jadi ingat kata-kata teman kerja di kantor yang dulu, “Ingat ya, setiap kali kamu bekerjasama dengan orang, entah itu klien, nara sumber, atau orang-orang yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kita,  usahakan diingat namanya.” Kata-kata ini, sudah terdengar di telinga saya 10 tahun lalu. Namun, saya baru memahami maksudnya belakangan ini. 

Hmmm, beberapa waktu lalu, dengan akrabnya saya menyapa seorang teman di suatu acara. Saya mengenal wanita ini belum lama, sih. Karena sempat berkenalan dan ngobrol di acara talkshow sebuah brand, saya jadi menggingat dia, “Hai, Wiwik, apa kabar, kita ketemu lagi akhirnya disini” saya menyapanya  dengan senyum manis,.

“Eh, kamu. pa, kabar juga. Eh iya, siapa namu kamu, saya lupa..?” katanya sembari menyedot minuman dingin.

Ups, begini rasanya kalau nama kita tak diingat, padahal saya sangat menggingat namanya.








Ragam Budaya dan Aksi di Festival Panen Raya Nusantara 2017



Pendongeng asal Aceh, PM Toh tengah menghibur anak-anak dan pengunjung, saat saya tiba di panggung Festival Panen Raya (PARARA) 2017, hari kedua, Sabtu (14/10/2017). 

Ia bercerita tentang pentingnya fungsi tumbuhan dengan menggunakan berbagai atribut dongeng yang unik. Ia memegang styrofoam berbentuk daun besar, sambil menceritakan tentang daun dan kehidupannya. 

Suara speaker yang menggelegar dan jernih, menjadi pemikat orang, tua muda, untuk menonton dan mendekati area panggung. Didukung pula cuaca yang bersahabat, tidak panas, namun juga tidak mendung, di Taman Menteng Jakarta Selatan, tempat acara itu berlangsung.

Apa yang didongengkan PM Toh, tentu saja berkaitan dengan tema yang diangkat tahun ini “Jaga Tradisi, Rawat Bumi". Festival dua tahunan ini memang bertujuan untuk memberikan informasi mendasar tentang arti penting produk-produk lokal buatan komunitas-komunitas lokal. Dari situ, tentu saja menjadi pembelajaran bagi kita agar bisa menjaga tradisi dan merawat hasil bumi.

PM Toh Mendongeng
 
Dari hasil bumi itu pula, di sekitar lokasi, berhamparan pajangan kerajinan hasil bumi khas daerah yang ada di Indonesia. Ada 70 komunitas dan masyarakat adat, yang unjuk gigi dan memamerkan karya mereka. Mereka datang langsung dari daerahnya, tapi adapula komunitas yang tinggal di Jakarta, tapi produk yang mereka jajakan memang berasal atau dikirim dari masyarakat adat. Produk-produk tersebut merupakan hasil kolaborasi panjang antarwirausaha yang terdiri dari sejumlah komunitas dan pekerja kreatif yang dibangun selama fase prafestival. Ada kain-kain cantik dan ulos dari pulau Flores dan Sumba, NTT. Harganya bervariasi, ada yang per dua meter, Rp 400.00-an.


Kain khas NTT


Ada pula kreasi anyaman bambu yang dibentuk topi, tas, wadah fungsional, dsb. Di booth Yayasan Anak Papua, bisa ditemukan beberapa kerajinan dari anyaman bambu tadi. Jika ingin melihat kerajinan batok kelapa yang dibentuk menjadi bunga matahari, motor vespa, tas, hiasan dinding, dll, persis di sebelah booth Papua.

Ragam kerajinan di PARARA 2017

Ada pula yang menjual biji kopi, dan menghidangkan ragam kopi dari nusantara, namanya Sindikat Kopi Lokal. Selama di Festival, boleh icip-icip gratis kopi di booth ini. Dan booth ini selalu ramai. Bearti orang Indonesia banyak yang pecinta kopi ya, hehehe. Di dekat booth Sindikat Kopi, ada yang sedang sibuk Cupping Session. Barista professional Andro Kaborang, tengah memandu acaranya. Tak kalah ramai orang menyaksikan aksinya dari dekat. Wah, lagi-lagi coffee efek nih, hihihih

Booth Sindikat Kopi Lokal

Tak jauh dari aksi Cupping Session, saya menghampiri penjual jamu kemasan dalam botol. Ada jamu temulak dan jahe merah serta jamu kunyit asam. Dua-duanya enak di lidah saya saya. Saya mencicipi samplenya, sebelum menentukan pilihan mana yang akan saya beli.  Harganya Rp25 ribu per botol. 

Jamu

Di ajang ini, kalau tak ada sajian kuliner, tentunya tak komplit dong ya. Jadi, selain minuman, bisa juga icip-icip makanan. Seorang ibu menawarkan saya roti. Katanya, roti itu dibuat oleh anaknya yang berumur 16 tahun. “Dari umur 4 tahun, anaknya saya sudah belajar masak, dan ini hasil kreasianya dia,” kata si ibu sambil memamerkan home industry-nya. 

Suasana Parara 2017

 
Kerajinan dari biji bijian, bak lukisan


Setelah berkeliling ke beberapa booth di Parara 2017, saya terhenti di lokasi panggung utama, tempat PM Toh mendongeng tadi. Di titik ini, sedang berlangsung gladi resik (GR) peragaan busana/ fashion show yang dibawakan para model. Ow, para peragawati tubuhnya langsing-langsing, sang peragawan ganteng dan badannya atletis. Lumayan cuci mata, hahahha. GR dilakukan agar saat membawakan busana pada malam harinya, para model bisa menguasai medan, sehingga berlangsung lancar. Ada ragam busana tenun dengan empat tema, salah satunya karya Yoga Wahyudi yang bakal dipamerkan.

Para Model saat  Gladi Resik

Sayangnya, ketika malam tiba, dan kembali ke area ini lagi (sebelumnya saya sempat pergi ke tempat lain) fashion shownya sudah selesai, jadi terlewat deh. Tapi, beruntung, saya masih sempat menyaksikan live music band-band indi. Ada Sandrayati Fay, dan Ari Reda, menyuguhkan suara dan musiknya yang menawan. Terlena saya mendengar suara mbak penyanyinya. Band indi itu emang unik, keren dan kece ya. Walau mereka tak terkenal secara komersil, tapi penggemarnya tak kalah banyak, karena karya mereka yang asik didengar.


Live Music Band Indi, Ari reda


Itu cerita hari kedua.

Di hari pertama, yang menarik perhatian saya dan beberapa pengunjung lain adalah  dandanan seorang bapak yang memakai baju adat Kalimantan Utara bersama alat musik. Namanya, Eliyas Yesaya. Saat saya lewat, ia tengah memainkan alat musik "Keng" dari bambu, ciri khas Suku Dayak Lundayah Kalimantan Utara dan rompi yang dipakainya dari jenis kayu Talun (sejenis sukun). Saya mampir sebentar, melihat aksinya memukul “Keng” ke lengan pengunjung, hingga menimbulkan bunyi khas. 

Eliyas Yesaya, (kanan)memainkan alat musik "Keng"


Nah, hari ketiga, Minggu (15/10/2017) yang merupakan hari terakhir festival ini, saya tak mengunjunginya lagi, karena capek, hehehe. Oh ya, Pada Festival Panen Raya Nusantara PARARA 2015, yang merupakan pertama kalinya ajang diselenggarakan, saya ikut menyaksikan juga lho. Bisa dibaca di sini dan di sini kisahnya.

PARARA 2017 bukan sekadar perayaan, namun juga terobosan bagi community enterprises (perusahaan berbasis masyarakat) yang berkelanjutan. Festival ini berusaha menjadi katalisator guna mendukung penjualan produk-produk lokal yang berkelanjutan dengan menggaet para pengambil keputusan serta konsumen. Dan bagi saya yang tinggal di Jakarta, senang sekali, bisa melihat kerajinan khas dari daerah nun jauh di sana.

Semoga saya bisa berjumpa lagi di PARARA selanjutnya. 



Sumber: panenrayanusantara.com