BNI, Demi Masa Depan!


Di ATM BNI

Memilih bank untuk jaminan masa sekarang dan masa depan, tentu harus cermat  dan bijak. Sebagai nasabah, salah satu penilaian yang dilihat pertama kali adalah cara pelayanan dan secepat apa menanggapi keluhan nasabah. Kalau bank tersebut mau membuat nasabahnya betah, maka faktor berbeli-belit dan lama merespon keluhan nasabah, harus segera dihilangkan.

Saat ini, saya memilih BNI Cabang Utan Kayu sebagai sarana untuk menyimpan dan mengelola keuangan saya. Sampai hari ini, sudah sekitar 5 tahun saya bolak balik ke BNI untuk urusan ini dan itu. Mulai dari mengurus ATM yang hilang, kliring, membuka Tapenas dan Deposito, atau ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada customer Service BNI. Namun, pernah pula saya mengeluh kepada BNI via telepon.

Ini suasana BNI Utan Kayu, Jaktim.

Ya, saya pernah mengeluh pada BNI karena uang saya "hilang" saat melakukan transaksi pembayaran di salah satu toko buku termuka dengan menggunakan Kartu ATM BNI. Kejadian itu sekitar 3 tahun lalu. Buku yang saya beli cuma 1,  eh, tapi uang saya malah terpotong dua kali lipat dari harga buku tersebut. 

Jadi, saat melakukan pembayaran buku seharga Rp55.000, kasir yang menggesek kartu ATM saya mengatakan, transaksinya  gagal. Saya pun melihat keterangan di mesin gesek ATM kasir, bahwa transaksinya memang gagal. Karena gagal, lantas sang kasir menggesekkan kembali ATMnya. Untunglah, gesekan yang kedua ini  berhasil. Namun, setelah saya cek jumlah nominalnya, ternyata transaksi awal yang gagal itu, tetap terpotong. Sementara pihak toko buku merasa tidak memotong uang saya, karena laporan transaksinya gagal. Sedih dong ya, uang saya lenyap tak bertuan.

Karena hal ini, saya langsung mengadu ke call center BNI 021-500046 via ponsel. Sekarang  nomornya berganti  menjadi 1500046. Setelah menceritakan kronologisnya, laporan saya pun ditanggapi, dan dijanjikan paling tidak 1 minggu setelah melapor, akan mendapat penjelasan kemana raibnya uang saya itu.

Dua hari setelahnya, saat saya sedang duduk santai di teras kos, ponsel saya berdering. Ouw, ternyata itu telephone dari BNI.  Suara wanita muda di ujung telepon mengabarkan, kalau uang saya sudah di transfer kembali ke rekening saya. Menurut penjelasannya, uang saya itu "nyangkut". Jadi, hilang kagak tapi kembali ke rekening saya juga nggak. Ya, begitu jadinya, hehehhe.

Senangnya, keluhan saya ditanggapi dalam 2 hari saja. Saya pikir bakal menunggu satu minggu beneran, lho. Itu pun, saya sudah mempersiapkan hati, kalau-kalau tak ada lagi kabar selanjutnya. Saya mengira, karena uang yang dilaporkan hilang cuma Rp.55.000, siapa tau BNI malas menanggapi, eh, ternyata dugaan saya salah. Apa yang dilakukan BNI,  tentu saja membuat nilai plus di mata saya, sebagai salah satu nasabahnya. 

Karena takut uang saya hilang tak ketahuan, saya pun berlangganan SMS Notifikasi BNI. Jika ada sesuatu yang mengalir ke rekening atau ada transaksi mencurigakan, saya bisa tau, karena laporannya akan disampaikan otomatis juga melalui SMS. Tentu saja saya bisa bereaksi dan cepat tanggap kalau-kalau ada notifikasi dana keluar yang tidak saya lakukan

Selain itu, dengan SMS notifikasi ini, saya tak perlu  repot mesti membuka internet untuk melihat dana masuk atau dana keluar, apalagi, seringkali saya kehabisan kuota internet, hahahaha. Tak perlu pula saya harus ke ATM untuk mengecek transferan duit dari hasil side job. 


Ya, BNI melindungi nasabahnya dengan memberi kemudahan informasi.  Itulah yang saya dapatkan dari BNI selama kurun waktu yang tak pendek itu. Walau pulsa saya harus dipotong setiap kali ada SMS notifikasi BNI, namun pulsa yang terpotong itu, tak sebanding dengan keuntungan yang didapat.

Kini, sudah 5 tahun menjadi nasabah BNI. Banyak uang saya yang tersangkut di bank ini, hehehe... Nyangkut? Iya!  Dua tahun belakangan, misalnya, uang gaji saya setiap bulan selalu dipotong BNI melalui autodebet. Ini karena BNI menawarkan program TAPENAS kepada nasabahnya. Saya mengambil jangka 2 tahun. Setiap bulan, saya harus rela mendapatkan SMS notifikasi BNI, kalau saldo di tabungan BNI Taplus saya harus berkurang nominalnya. Tak mengapa, karena ini adalah simpanan berjangka untuk membantu perencanaan keuangan saya.

Saya mengikuti program ini, salah satu tujuannya untuk menabung demi biaya pernikahan kelak. Hari gini, tentulah tak sedikit merogoh kocek untuk sekadar pesta penikahan yang sederhana sekalipun. Saya mau,  semua yang akan saya jalani bisa mewujudkan tujuan dan masa depan saya dengan lebih pasti dan aman.  Iya dong, emangnya wanita cuma butuh kepastian dari lelaki saja? Saya juga butuh kepastian dari cara mengelola keuangan melalui BNI, agar uang tak lenyap begitu saja.   

Di dalam Buku Taplus BNI dan Tapenas BNI ini, menyimpan masa depanku.

Dua bulan yang lalu, jangka waktu dua tahun TAPENAS BNI itu berakhir sudah. Hasilnya? Saya merasakan seperti mendapat durian runtuh. "Nah, sekarang seperti dapat hadiah, kan mbak," kata sang customer service saat saya
curhat betapa "ngilunya" menerima kenyataan gaji yang harus terpotong separuhnya setiap bulan demi TAPENAS. Saya pun manggut-manggut mendengar ucapannya yang menyenangkan hati itu saat mengurus masa Tapenas yang tlah berakhir.

Lantas, uang yang sudah bisa saya cairkan itu,  saya gunakan untuk apa? Uang itu masih utuh, kok. Kan, tadi saya sudah bilang, itu bekal buat nikah nanti plus untuk membeli benda-benda jika saya sudah memiliki rumah sendiri.

Saya simpan di mana? Uang yang terkumpul dari hasil TAPENAS, kini telah saya depositokan saat itu juga, ketika persis jangka waktunya habis. Bahkan, mbak Customer Service BNI yang berhijab itu pun ikut membantu mengarahkan, baiknya berapa nominal yang perlu saya depositokan, (dengan melihat juga nominal taplus BNI yang saya miliki) dan berapa jangka waktu yang harus ditetapkan untuk menguntungkan saya.

Ah, tercapai lagi keinginan saya punya deposito, setelah beberapa tahun sebelumnya deposito yang saya buat, gagal. Gagal, karena saya belum bisa mengelola keuangan dan belum dapat mengontrol hawa nafsu untuk belanja, hingga deposito pun harus "dijebol". Tapi, saya menyadari, yang saya lakukan dulu, mungkin karena usia yang masih muda, hingga labil, masih pengen ini dan itu. Namun, semakin bertambahnya usia, kebijaksanaan dalam diri, untuk hal apa pun, ikut berkembang. Saya percaya, setiap orang pasti punya keinginan untuk maju dan baik dalam segala hal. Begitu juga dengan masa depan, semua orang tentu ingin bahagia dan tercukupi. Pun saya, demi masa depan, saya percayakan menitipkan uang pada BNI.

(Foto : adharta.com)

Susahnya Makan Pakai Sumpit

Sumpit menjepit dinsum :D
Kalau memesan makanan sejenis dinsum, mi-mi-an, atau masakan Jepang, sudah nebak nih, pasti bakal dikasih sumpit sama pelayannya. Ya, dipake sih emang sumpitnya, tapi itu bikin saya lama makannya, karena susah memegang sumpit dengan benar. Beberapa teman sudah mengajarkan, tapi tetap tak berhasil. Kalau saya menjepitnya, makanan enak itu lolos dari sumpit yang saya pegang, hahahaha.

Sesekali, saat di resto, saya request sih untuk minta diganti dengan sendok atau garpu saja. Maklum, tangan ini tak terbiasa pakai sumpit. Wong dari orok sampe saya sudah mateng kayak gini, tiap hari kalau makan ya pakai sendok atau pakai tangan sekalian. 

Sumpit? 

Hmmmm... dalam setahun, mungkin cuma dua kali saya memakainya. Itu pun ketika jajan di luar. Itu pun bukan keinginan saya tapi keinginan resto/cafe. Itu pun gak nyaman kalau memakainya. Walhasil sampai sekarang saya gak bisa pakai sumpit. Oh...

Dinsum menggoda manjaah

Kalau dipaksakan, alhasil saya jadi kesal sendiri, karena waktu akhirnya habis cuma buat ngepasin gimana caranya itu makanan nyantol di sumpit. Apalagi kalau dinsum yang ada isinya, itu bisa kocar-kacir isinya. Jadi gak nikmat lagi mengunyahnya, padahal saya doyan ngonyel dinsum. Pun saat makan mi, lumayan berkali kali menggulungnya agar gak jatoh, hihihi.

Trus, apakah saya berusaha untuk bisa memakai sumpit? Sepertinya nggak ada deh niat untuk mahir pakai sumpit. Bagaimana pun, makan dengan menggunakan sendok atau dengan tangan, lebih nikmat dan cocok untuk saya.

Anda?