Ilustrasi |
Saya tersenyum ketika membaca artikel soal makanan di hotel atau sajian makanan di tempat yang mahal, namun rasa dan penyajiannya tak karuan. Artikel yang dimuat di bisniskeuangan.kompas.com itu, ditulis oleh Rhenald Kasali, salah satu akademisi dan praktisi bisnis Indonesia. Ia mengkritik soal nasi goreng dan makanan lain yang disajikan oleh hotel. Kata dia, rasa dan penyajiannya kurang enak.
Kurang lebih begini cuplikan tulisannya..
“Entah mengapa, sejak menempati ruangan baru yang lebih luas, rasa makanan di ruang VIP ini tak karuan. Pecel sayuran yang disajikan layu. Gorengan tempe terlihat tidak fresh. Rasanya tidak senikmat tempe goreng yang biasa kita nikmati.
Saya lalu mengambil rempeyek yang ada di dalam toples kaca. Selain plastiknya yang agak kumal, saya tak melihat kacangnya. Kata penjaganya, itu peyek kacang dan teri. Tapi begitu saya rasakan, ikan terinya juga tidak saya temukan.
Andaikan saya tak terburu-buru masuk ke dalam, saya pasti lebih memilih untuk menikmati soto Bangkalan yang ada di teras luar bandara. Rasanya jauh lebih nikmat dari makanan yang disajikan pengelola.
Jangankan ikan bakar yang masaknya super mudah itu, pisang goreng dan nasi goreng saja tak ada yang benar-benar bisa kita nikmati di hotel-hotel berbintang kita."
Jangankan ikan bakar yang masaknya super mudah itu, pisang goreng dan nasi goreng saja tak ada yang benar-benar bisa kita nikmati di hotel-hotel berbintang kita."
Ilustrasi: penyajian nasi goreng ala cafe (dok pribadi) |
Masih banyak lagi hal atau pengalaman yang ia sampaikan. Beberapa point yang dituliskannya pada artikel itu, saya pun pernah mengalami hal serupa meski tak sama.
Dua minggu lalu, misalnya, saya memesan tumis kangkung di resto yang ada dalam mall di daerah Kali Malang, Jakarta. Restonya bagus dan elit. Tapi, saat tumisan kangkung sampai ke meja tempat saya duduk, kok yang mendominasi tumisan itu adalah batang kangkungnya bukan daunnya. Sungguh sangat tidak bernafsu dilihat. Tidak menggoda. Saya jadi mikir, ini mungkin daunnya sudah pada kuning jadi banyak yang dibuang, makanya si batanglah yang menguasai piring dan daunnya cuma seuprit. Atau, memang kangkungnya yang sedikit, tapi tetep maksa diolah karena ada yang memesan?
Begitupun dengan sup ikan patin yang saya pesan. Daging ikannya hancur dan terbocar bacir, jadi tidak utuh disajikan. Saya menduga, daging ikannya sudah lama tersimpan di kulkas, hingga ketika dimasak dagingnya sudah lembut, kemudian direbus pula, ya tambah hancurlah dia. Atau, mereka yang kelamaan memasaknya, hingga daging si ikan hancur?
Setelah saya cicip dagingnya, rasanya pun sudah seperti ikan yang tidak segar dan tlah lama disimpan di kulkas. Meski kulkas atau freezer adalah tempat untuk mengawetkan bahan makanan, tentu ada saja masa batas penyimpanannya. Kalau terlalu lama menyimpan ikan lebih dari sebulan misalnya, ya akan “kadaluarsa” juga, alias tak layak dikonsumsi lagi. Makanya daging ikan patin yang saya pesan itu pun, rasanya seperti daging busuk dan hambar. Duh....
Ilustrasi: Ikan Patin di salah satu resto. Kalau yang ini lumayan penampakannya (dok pribadi) |
Bagi saya yang jarang makan di hotel atau di resto (mewah) yang ruangannya berkonsep dan berAC, yang dihiasi dengan sofa-sofa cantik, harusnya masakannya lebih enak daripada masakan rumahan, dong. Karena tujuan orang makan di resto itu, selain karena lapar dan kepengen menikmati sajian makan di luar rumah, orang juga berharap masakan yang disajikan lebih sedap dan nampol dong bumbunya. Bukan begitu..?
Karena kita tahu, di hotel misalnya, biasanya kan ada koki-koki special yang jago masak. Pengunjung hotel tentulah berharap dan membayangkan masakan yang dibuat lebih lezat. So, kalau ada makanan yang rasanya biasa saja dan terkesan asal-asalan, penonton pun kecewa. Padahal, kita bayar lho, makan dan minum di sana. Mahal pulak.
Pun, ketika saya menemui ada teh basi yang disajikan di hotel bintang 4 dan restoran terkenal di Jakarta. Ini juga bikin dahi mengerenyit.
Ya, karena dari kecil saya sudah disuguhi teh oleh ibu saya, maka saya tau dong, mana teh basi dan mana teh segar atau yang baru dibuat. Bukan soal karena suhunya masih panas, maka itu adalah teh yang baru. Belum tentu. Tapi, dari rasanya, bung!
Nah, baru-baru ini saya makan di resto yang terkenal, karena cabangnya di mana-mana di ibu kota tercintaah ini. Saat meminum tehnya, alamak, rasanya basi. Teh itu saya ambil di wadah besar (seperti termoslah ya), yang memang ditaruh di tengah areal resto. Jadi, buat tamu yang ingin minum teh atau ingin menambah teh lagi, pengunjung dipersilahkan mengambil sendiri sebanyak-banyaknya tanpa biaya tambahan, alias gratis..
Rasa teh yang basi itu, saya menduga, berasal dari sisa teh kemarin yang tidak habis. Lantas, saat mereka membuat teh baru, mereka gabungkan air sisa teh kemarin dengan teh yang baru. Mungkin, mereka sayang kali ya membuang sisa teh kemarin. Tapi, yang namanya teh itu, kalau sudah semalaman, rasanya akan berubah, salah satunya karena sudah terkontaminasi dengan udara, makanya rasanya jadi asam atau basi. Walaupun teh basi itu dicampur dengan teh yang baru dibuat, katakanlah takaran teh yang baru lebih banyak daripada teh yang kemarin, tetap saja rasa basinya gak bisa sembunyi, lho. Dan hal ini membuat selera makan saya menurun. Padahal, teh itu nikmat banget kalau di seruput sore hari, seperti kala jelang senja saya datang ke sana.
Ilustrasi |
Yang saya herankan, kok bisa kebobolan sih menghadirkan teh basi di resto? Seharusnya karyawannya mencicipi dulu tehnya sebelum disuguhkan? Kalau karyawannya lalai, Pak Managernya barangkali ya yang kudu sigap ngecek rasa minuman atau makanan sebelum disajikan. Hmmmm, berhubung suguhan teh ini gratisan, walau di resto yang mahal, saya kok jadi sungkan mau komplain, walaupun sebenarnya kita sebagai konsumen berhak banget mau komplain kalau merasa dirugikan, lho.
Soal teh basi ini, bukan kali pertama saya mengalaminya. Empat tahun lalu, saat saya mengikuti serangkaian pelatihan media (kebetulan saya yang diutus dari kantor) dan menginap di hotel berbintang 4 di Surabaya, hal yang sama saya alami. Waktu saya ke sana, hotel itu masih baru dan fresh. Tapi, tiga malam saya menginap di sana, ealah, 3 kali pula saya harus menikmati teh rasa basi saat sarapan pagi. Dalam hati: “Ini hotel lho, bintang 4 pula, kok bisa tehnya basi? Apa gak dicek dulu sama kokinya atau karyawannya?”
Tapi, saat itu saya cuma diam, ada rasa gak enakan kalo mau mengkritik. Tapi, setelah waktu berlalu, saya menyesali diri, kenapa gak komplain dengan pihak hotel atau managernya ya? Padahal, saat itu saya ketemu dengan managernya dan dia mengucapkan terimakasih karena sudah menginap di hotelnya.. Andai saya komplain saat itu, saya yakin mereka akan membenahi dan mungkin akan berterima kasih karena sudah saya kasih tau....:)) Tapi, ya sudahlah, lain kali kalau menginap di hotel, pakai biaya sendiri pula, kudu berani komplain ya kalau nemuin makanan yang tak nyaman, kadaluarsa, kotor, atau aneh di lidah.
Nah, karena hal-hal tadi pernah saya alami, itu dia kenapa saat membaca tulisan Reynald Kasali, seperti yang saya jelaskan di awal, saya manggut manggut. Idem!
Yah, semoga hotel berbintang atau resto elit lebih bisa menghandle hal-hal yang dianggap sepele, macam teh basi atau cara penyajian makanan. Karena, jangankan hotel, tempat kuliner yang disinggahi di pinggir jalan sekalipun, yang tanpa AC dan boro-boro ada sofa empuk, RASA dan cara PENYAJIAN makanan, tetap nomor satu yang dinilai konsumen, terutama oleh kaum hawa :))
Yah, semoga hotel berbintang atau resto elit lebih bisa menghandle hal-hal yang dianggap sepele, macam teh basi atau cara penyajian makanan. Karena, jangankan hotel, tempat kuliner yang disinggahi di pinggir jalan sekalipun, yang tanpa AC dan boro-boro ada sofa empuk, RASA dan cara PENYAJIAN makanan, tetap nomor satu yang dinilai konsumen, terutama oleh kaum hawa :))