Andai Sungai Bersih dan Sehat, Indonesia (juga) Sehat.


Air, menjamin keberlanjutan seluruh kehidupan di muka bumi, penting bagi semua orang dan sangat mempengaruhi bagaimana cara hidup kita. Tersedianya air secara berkelanjutan untuk kebutuhan manusia di seluruh dunia adalah salah satu tantangan utama untuk pembangunan berkelanjutan di banyak daerah. Ekosistem yang ada di seluruh dunia, khususnya hutan dan lahan basah, menjamin bahwa air bersih tersedia bagi komunitas manusia. Dan Air, mendasari semua jasa ekosistem.

Dengan Lahan basah misalnya, dapat membantu mengurangi risiko banjir. Restorasi tanah bisa mengurangi erosi dan meningkatkan air yang tersedia untuk tanaman. Kawasan lindung dapat membantu dalam memberikan air ke kota-kota. Ini, hanyalah beberapa contoh bagaimana pengelolaan ekosistem dapat membantu kita memecahkan masalah yang berhubungan dengan air. 

Air, adalah sumber dari semua kehidupan di Bumi.
Dan Air bersih, sumber kesehatan kita. So, hemat dan peliharalah air



Tulisan diatas adalah salah satu isi audio dari insert atau filler berdurasi sekitar 90 detik, yang selalu  diputarkan oleh salah satu stasiun radio yang ada di Jakarta. Saya sering  mendengarnya. Sering pula saya  merenungkannya, kalau ternyata, air bukan hanya penting untuk manusia saja, tapi juga untuk lingkungan sekitar, untuk hutan dan juga tuk ekosistem di sungai.
 
Sayang, berkali-kali insert atau informasi itu diputar sejak lama di gelombang radio yang sering saya monitor, tampaknya belum bisa banyak memberikan kesadaran bagi warga Jakarta khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya, yang mendengarkan siaran radio tadi, untuk lebih menghargai air, yang menjadi sumber kehidupan. 

Ini bisa terlihat dari keruh dan kotornya air yang mengalir di sungai-sungai yang  ada di Indonesia, termasuk Jakarta, kota yang sudah 9 tahun memberikan saya pekerjaan, hiburan, pengalaman, pertemanan hingga tantangan.   

Fenomena warna sungai yang terjadi di Indonesia ini, bisa dikatakan ajaib, seperti disulap. Ada yang berwarna merah, biru, hitam dan coklat, hingga warna gak jelas. Wow banget ya.! Padahal, umumnya dan harusnya warna sungai itu jernih dan tidak berbau. Tapi,....tau gak, di negara kita ada lho sungai yang warnanya merah bak darah. Aneh? Ya, memang aneh! Ini bukan khayalan, lo.

Ini terjadi di sungai yang mengaliri kawasan Bontang, Kalimantan Timur, sekitar bulan Februari 2014 lalu. Beritanya lantas menyebar. Semua stasiun TV menayangkannya. Sayapun melihatnya di layar kaca. Benar! Sungai itu merah membara seperti baru saja terjadi pertumpahan darah. Hiiii.... 

Ternyata eh ternyata, warna merah itu berasal dari pembuangan cat, dari pabrik cat yang ada disana. Zat pelarut yang terkandung cat itulah yang menyebabkan warna merah merata sepanjang sungai Tanjung Laut, Bontang Selatan. Merata lho warnanya. Walah, sungai dijadikan tempat pembuangan limbah, apa kabarnya kualitas sungai dan kehidupan mahluk-mahluk sungai?

Ini dia sungai merah di Bontang, Kaltim. Sbg gbr http://regional(dot)kompas(dot)com

Bukan itu saja cerita sungai yang berubah warna dijaman modern ini. Ajaib sekali rasanya, serasa berada di jaman nabi, yang sering menemukan hal-hal yang bikin kita gak percaya. Tapi, meski sudah gak dijaman nabi lagi, masih tetap terjadi hal-hal yang bikin mulut menganga. Sebelumnya, ada sungai yang warnanya berubah jadi biru dan bau, akibat limpahan limbah pencucian jeans, yang mencemari sungai di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, juga beberapa sungai di daerah lainnnya, termasuk yang ada di Jakarta ini.

Ini  kondisi sungai akibat limbah pencucian jeans. Sbg gbr http://akuinginhijau(dot)org

Ulalla, ternyata para pelaku industri membuang limbah pencucian jeans langsung ke sungai. Mereka melakukan ini, lantaran tak mempunyai unit instalasi pengolahan air limbah. Padahal, kalau bahan-bahan kimia bergabung jadi satu dengan air sungai, jangankan untuk dikonsumsi, tersentuh kulit pun akan berdampak fatal. 
Polusi dari pembuatan jeans itu berasal dari bahan pewarna yang dipakai, bleaching yang bisa masuk ke dalam tanah serta bahan bakar mesin produksi. Sementara itu peningkatan pH dipicu oleh penggunaan detergen yang berlebihan dalam proses pencucian bahan baku maupun pakaian jadi.

Jadi, sumber pencemaran di industri jeans, tidak hanya berasal dari proses produksinya saja, melainkan juga sejak penyiapan bahan baku. Kandungan nitrat dan posphat dalam pupuk yang digunakan pada tanaman kapas sebagai bahan baku untuk membuat jeans, akhirnya terserap ke dalam tanah, lalu mencemari air tanah.

Nah., kalau air tanah sudah tercemar, otomatis, akan ngaruh juga pada air sumur, yang bisa jadi bau dan terkontaminasi zat-zat yang berbahaya. Padahal, di Jakarta, sumur itu masih menjadi andalan warga tuk dikonsumsi sebagai air minum, karena tak bisa lagi mengharapkan air sungai yang kotornya bikin orang geleng kepala diikuti dengan tepok jidad. 


Dampak Pencemaran Sungai...

Pernah melihat gak tiba-tiba banyak ikan mati di sungai? Nah, itu adalah salah satu dampak dari pencemaran sungai. Bahkan, kalau ikan mati tadi dikonsumsi oleh manusia, tubuh kita akan  keracunan. Seperti yang terjadi di Aceh. Sejumlah ikan di kreung Teunom, Kabupaten Aceh Jaya ditemukan mati mendadak, beberapa waktu lalu.  Kematian ikan ini, diduga karena sungai tercemar limbah tambang emas dan biji besi ilegal di sekitar wilayah itu. Matinya ribuan ikan di sungai ini, telah berlangsung lama. Ikan yang mati ditemukan dengan kondisi insang berwarna merah, sisik mengalami pendarahan dan mata memutih.

Bahkan, beberapa warga sempat jatuh sakit setelah mengonsumsi air dan ikan di sungai tersebut. Aktivitas warga yang bermata mata pencarian di sungai itupun terhenti akibat peristiwa ini.

Tak hanya menyebabkan ikan-ikan mati, air sungai yang kotor bisa menjadi sumber penularan penyakit. Mulai dari thypus, kolera, demam, batuk, gatal-gatal dan lain-lain. Trus, kalau kita sudah terkontaminasi alias sakit, ujung-ujungnya, sungai deh jadi terdakwa. 
 
Sungai yang banyak sampah misalnya,  akan menyumbat saluran air, hingga sebabkan banjir. Dan, banjir itu bisa timbulkan penyakit, salahsatunya penyakit cikungunya, yang berasal dari air seni hewan. Duh, bencana banjirpun nimbrung menjadi penyebab pencemaran sungai. Banyak sekali rentetannya. 

Padahal, sungai itu bukan mahluk hidup lho. Dia justru membantu kehidupan. Tapi, yach... seolah tak ada tempat pembuangan sampah dan limbah, hingga akhirnya mengorbankan sungai.

Ehm, ngomongin soal air......,  sumur dan sungai yang paling sering saya temui di kota metropolitan ini. Sumber air ini bisa memenuhi segala kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sayangnya, keadaan sungai Jakarta dan beberapa sungai di daerah lain, sudah tercemar bakteri ecoli dan timbal. 

Bakteri ecoli itu, berasal dari pencemaran atau kontaminasi dari kotoran hewan dan manusia. Di dalam kotoran tadi, berisi banyak jenis organisme penyebab penyakit, sehingga tak layak lagi untuk diminum. Dan kuman tadi, kalau sudah masuk ke tubuh, bisa menghasilkan racun yang bisa merusak ginjal dan melemahkan dinding usus kecil pada anak-anak. 

Sedangkan timbal, berasal dari bahan pembuat cat, baterai, tinta, cat rambut dan campuran bahan bakar bensin. Dampak timbal juga tidak main-main, lho. Jika  masuk ke dalam tubuh, timbal akan menyebar ke berbagai organ melalui sistem peredaran darah, dan akan menyebabkan kerusakan pada ginjal, hati, otak, saraf, dan tulang. Bahkan timbal juga menyebabkan terjadinya penurunan perkembangan intelegensia atau kebodohan. Bagi perempuan hamil, timbal yang tertimbun dalam tulang akan masuk ke janin, dan sebabkan keguguran.

So, dengan  keadaan air sungai yang begitu parahnya, jangankan untuk dikonsumsi tuk sekedar cuci baju saja, sudah tidak layak lagi. Sementara, beberapa sumur di Jakarta pun sudah ada  yang ikutan  terkontaminasi bakteri ecoli.

Tak cuma itu, pencemaran sungai juga menyebabkan hilangnya ladang sumber penghidupan, seperti keramba ikan, tempat memancing dan pemandangan indah yang harusnya bisa dinikmati orang banyak atau jadi tempat objek wisata. Kadar oksigen dalam sungaipun, akan ikut berkurang sebagai imbas dari tercemarnya sungai. 

Tak hanya pencemaran saja yang bisa merusak fungsi sungai, lo. Ada banyak lagi penyebabnya. Jika terjadi perubahan tata guna lahan dan pertambahan jumlah penduduk, misalnya, maka keberadaan DAS atau daerah aliran sungaipun  terancam rusak.

Gejala kerusakan lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dapat dilihat dari penyusutan luas hutan dan kerusakan lahan terutama kawasan lindung di sekitar Daerah Aliran Sungai.
 
Lebih fatal lagi, dengan tercemarnya sungai, maka  jumlah air bersih sulit tersedia. Padahal, air bersih adalah hal yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

 Kondisi Sungai Ciliwung, Jakarta. Coklat!. sbr gbr http://www.republika(dot)co(dot)id



Kalau sudah begini, kadang saya membayangkan betapa asyiknya tinggal di kawasan pegunungan. Selain jauh dari polusi, adem dan sejuk, airnyapun tentulah jernih dan alami. Beruntunglah, teman-teman yang tinggal didaerah perbukitan atau pegunungan, yang ditempat-tempat tertentu, mereka dekat dengan air terjun, atau sumber mata air pegunungan. Jauh dari pencemaran, bahkan kealamian dan kejernihannya kerasa sampe ke kota..:) Aih, jadi pengen tinggal di pegunungan deh.


Manfaat Sungai

Duluu..
Saya pikir, sungai itu cuma berfungsi tuk mengaliri sawah petani, atau sebagai pembuang air hujan saja, tapi ternyata sungai juga berfungsi tuk mengangkut hasil endapan erosi dan polutan, serta berperan dalam kelangsungan siklus erosi itu sendiri. 

Dengan adanya keberadaan sungai, kita juga bisa menemukan berbagai jenis ikan-ikan. Disungai, ikan akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, karena memang sungai adalah habitat asli ikan. Ketika ikan dapat tumbuh dengan benar, dan menjadi ikan yang besar, maka ikan dapat menghasilkan nilai ekonomis bagi warga sekitarnya. Ya, ikan-ikan tadi akan dipancing oleh warga, lantas dijual kepasar. Berkatnya, warga mendapatkan uang dari hasil penjualan tadi. Tentu ini sangat membantu mereka dalam hal ekonomi. 
 
Selain itu, saat ini sungai juga dikembangkan menjadi wahana konservasi untuk habitat tanaman air, budidaya tambak serta beberapa jenis mamalia. Nah, dengan semua ini, tentu akan membantu masyarakat sekitar.

Eh, malah sekarang bisa dijadikan juga sebagai pembangkit tenaga listrik, lo. Itu artinya, warga dipedalaman yang tidak tersentuh listrik, bisa mencicipi terangnya sinar yang berasal dari energi terbarukan, air.  Jadi, tak perlu lagi bergantung pada bahan bakar fosil. Ramah lingkungan, bukan..?

Bahkan, jika sungainya indah dan banyak bebatuan/ karang, bisa dijadikan objek wisata, lo. Seperti saat saya bertandang ke tempat teman lama saya yang ada di Lubuk Linggau, Sumsel, objek wisata yang saya kunjungi ya sungai, yang dilintasi oleh air terjun. Begitu kerennya fungsi sungai, sayang sekali kalau tidak dipelihara.

Saya, berwisata sungai, beberapa tahun lalu.








Ups...rupanya, adalagi manfaat sungai yang lebih besar ...
Sungai itu adalah bahan baku air minum. Air tuk tubuh kita. Dan masyarakat yang berada dipinggiran sungai masih mengandalkan air sungai tuk dikonsumsi sebagai air minum, meski airnya mereka beri kaporit, untuk mengendapkan kotoran. 

Kebayang dong, dengan manfaat besar seperti ini, tapi kebanyakan kondisi sungai di Indonesia sudah pada kotor dan tercemar. Sungainya tak lagi bersih, harusnya tak layak tuk dikonsumsi, walau sudah diberi kaporit sekalipun. Tapi, mau gak mau, warga harus memberi kaporit, agar air terlihat jernih dan seolah-olah layak tuk diminum. Padahal, penambahan kaporit ke dalam air akan menghasilkan senyawa kimia sampingan yang bernama Trihalometana (THM). Senyawa ini banyak diklaim oleh para pakar air sebagai penyebab produksi radikal bebas dalam tubuh yang mengakibatkan kerusakan sel dan bersifat karsinogenik. 

Selain itu pemberian kaporit juga akan timbulkan bau dan rasa. Padahal, syarat air yang bersih dan layak tuk dikonsumsi itu, ya gak boleh bau. Trus, apakah kalau gak bau, artinya air itu sudah layak minum..? Oh, no....!! Masih ada lagi syarat lainnya, seperti yang saya tulis dibawah ini...

1. Secara fisik, air yang sehat itu :
a. Air harus bersih dan tidak keruh
b. Tidak berwarna apapun
c. Tidak berasa apapun
d. Tidak berbau apaun
e. Suhu antara 10-25 C (sejuk)
f. Tidak meninggalkan endapan

2. Syarat kimiawi:
a. Tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun
b. Tidak mengandung zat-zat kimiawi yang berlebihan
c. Cukup yodium
d. pH air antara 6,5 – 9,2

3. Syarat mikrobiologi, antara lain:
Tidak mengandung kuman-kuman penyakit seperti disentri, tipus, kolera, dan bakteri patogen penyebab penyakit.

Banyak sekali persyaratannya. Sayangnya, mayoritas sungai di Indonesia, tidak memenuhi persyaratan diatas, salahsatunya sudah berbau, berwarna dan mengandung zat kimia dari hasil pembuangan limbah. Pantesan, saya  pernah merasakan dampaknya akibat nekad mengkonsumsi air yang tak memenuhi persyaratan diatas, saya kupas  ceritanya dibawah ini. 

Kehidupan Warga di Bantaran Sungai
Sekitar sepuluh tahun lalu, saya pernah menginap di salah satu rumah yang tinggal di pinggiran sungai musi, sungai yang melintas di provinsi Sumatera Selatan, untuk suatu keperluan. Tinggal di sana, artinya, saya pun melihat apa yang mereka lakukan. Mengkonsumsi air minum, ya dari air sungai yang warnanya sudah coklat, lantas diberi kaporit, supaya kotorannya terendap ke bawah, jadi terlihat bening. Mayoritas warga di sana, mengandalkan air yang tak pernah berhenti mengalir itu tuk bahan baku air minum, memasak, hingga mandi dan cuci baju. Buang air besar dan air kecil pun, dilakukan di jamban yang dibangun di atas sungai, yang otomatis, kotorannya akan jatuhlah ke sungai itu juga.  

Ketika di siang hari, di saat air sungainya sedang menyurut, maka akan terlihatlah “selongsongan” si kuning alias tinja manusia. Lebih tepatnya, akan terlihat tinja dari semua keluarga yang membangun jamban di atas sungai, yang posisinya hanya berjarak sekitar 4 meter dari dapur rumah. Baunya? Ah, jangan ditanya. Kotornya air dan lingkungan sekitarpun tak perlu diragukan pula. Sampah berserakan dimana-mana, karena membuang sampahpun, mereka lakukan disungai. Alamak, dikira sungai itu tong sampah kali ye..., duh.!

So, bakteri yang ditebarkan melalui udarapun pasti merajalela kemana-mana, dan akan hinggap disalah satu atau di banyak tubuh warga yang hidup disekitar aliran sungai.
Nah, karena saya tinggal disana selama seminggu lebih, otomatis, cara yang mereka lakukanpun, mau gak mau, harus saya lakukan. Maklum, namanya juga lagi numpang. Oh, ya, waktu itu, karena masih duduk dibangku sekolah, jujur, saya belum ngerti tentang dampak dari air sungai yang kotor. Tanpa bersalah dan was-was saya juga ikut mengkonsumsi air minum, yang berasal dari air sungai (meski sudah diberi kaporit, yang juga mengandung zat kimia yang tidak baik tuk kesehatan). Air untuk masak, mandi dan cuci bajupun, tanpa beban saya lakukan di sungai. Bahkan BAB pun, saya lakukan diatas jamban. Eh, sore harinya, ketika mau gosok gigi, pas mau menyedok air sungainya tuk kumur-kumur, eh...ada si “kuning” mengambang diatas air yang akan saya ciduk dengan gayung itu, melintas didepan wajah, haduuuhhh.... Bayangkan coba, gimana mau sehat, kalau air tuk sikat gigi saja, sudah kotor begitu. Sungainya sudah bercampur dengan hasil BAB, air seni, busa cucian, sampah dan bahkan limbah pabrik/ industri. Hiiiyy.....jijik banget ya Alloh...
Nah, air yang akan saya ciduk buat kumur-kumur tadi, belum masuk keperut lo, cuma untuk kumur-kumur saja. Apa kabarnya kalau air kotor itu sudah menyelinap kekerongkongan, lantas menyusup kedalam lambung dan jalan-jalan ke usus kecil, lantas “berkenalan” keseluruh sistem organ tubuh kita.. Hidih, apa yang terjadi...? Pasti si air kotor tadi akan lebih akrab dengan tubuh kita, karena sudah “berbincang”*.
Salhsatu kegiatan warga yang memanfaatkan air sungai.
 Sbr gbr http://lisasuroso.wordpress.com

Ya, saking akrabnya air sungai yang kotor itu dengan organ tubuh saya, maka menginjak 6 hari tinggal disana dan rutin melakukan kebiasaan tak sehat tadi, kondisi badan saya jadi sakit-sakitan. Demam, disertai dengan diare dan muntah. Anehnya, muntah terjadi ketika saya sedang BAB/diare, jadi berbarengan. Ya muntah, ya BAB.
Ouw, saya baru sadar,....
Itulah yang namanya MUNTABER, singkatan dari muntah (sambil) berak. Ulalala, selama ini saya hanya mendengar nama penyakit itu, dan sayapun mengalaminya ketika itu, karena sanitasi dan air yang saya konsumsi tidak layak. Ditambah pula, makanan atau minuman yang saya konsumsi selama tinggal disana, bisa saja sudah tercemar bakteri-ecoli, yang sering ditemukan dilingkungan yang kotor. Kalau sudah begitu, tentu bakteri tadi akan menyerang percernaan atau usus. Itulah yang menyebabkan kita diare. Oh..
Nah, penyakit diare sering sekali dijumpai di kehidupan masyarakat daerah kumuh atau pinggiran kali, yang biasanya kebanyakan ditinggali oleh warga kalangan menengah kebawah. Saking seringnya menjumpai penyakit diare, banyak orang beranggapan kalau diare itu merupakan penyakit yang biasa saja, tidak perlu dikhawatirkan. Padahal, diare, bisa menyebabkan dehidrasi, lo. Dan jika dibiarkan, dehidrasi ini akan membahayakan nyawa si penderita. Ih, serem! Yang dianggap sepele, ternyata bisa mematikan. Dan itu semua bersadal dari sungai dan sanitasi yang kotor. So, dampak rentetannya panjang, Saudara...! 

Aduh, kalau semua yang ada dipinggir sungai rawan sakit, apa kabar nasib warga disana kedepannya nanti....?
Pantesan, anak kecil yang tinggal didaerah itupun, sering terkena diare dan penyakit gatal-gatal hingga meninggalkan koreng pada kulit tubuhnya. Rupanya kebiasaa hidup mereka yang tidak sehat itulah penyebabnya.

 Cerianya anak-anak ini mandi, namun penyakit mengintai.
sbr gbr http://reyborneo79.blogspot.com

Nah, apa yang jalani diatas, serupa dengan sisi kehidupan warga  yang tinggal di beberapa daerah yang dialiri sungai laiinnya, yang pernah saya lihat. Dan ini adalah sedikit cerita dari banyaknya orang yang tak peduli dengan pentingnya menjaga lingkungan air dan air itu sendiri. Ehm,...mungkin, lebih tepatnya bukan tak peduli ya, tapi, memang mereka tak paham akan pentingnya menjaga kebersihan sungai. Padahal, dari air itulah, awal dari segala penyakit bermula. Dari muntaber, typhus, diare, penyakit kulit, paru-paru, hingga penyakit krusial lainnya, yang apabila tak ditangani dengan baik dan benar akan memperparah penyakit tersebut dan berujung pada kematian.

Air: Antara Kebutuhan dan Kesehatan 

Tau sendirikan, kalau sudah ngomongin penyakit, berapa rupiah yang bakal keluar..? Sakit itu mahal..! Gak ada yang maukan memelihara penyakit..? Apalagi, kalau penyakit itu berasal dari apa yang kita konsumsi atau yang kita gunakan setiap hari.

Sbg gbr disini
Ya, air itu erat sekali dengan kehidupan kita. Coba, dalam sehari saja kita bisa minum bergelas-gelas air, yang bisa menghabiskan 2 liter air perhari.

Darimana air yang kita konsumsi itu...? Ya, dari air yang ada di sungai, sumur dan mata air pegunungan. 
 
Bagi  yang tinggal diperkotaan, mayoritas warga mengandalkan air dari perusahaan-perusahaan yang mendistribusikan air ke rumah-rumah warga. Air tersebut ya berasal dari sungai yang kotor, namun sudah  mereka olah terlebih dahulu tentu, hingga ketika sampai dirumah warga melalui sambungan pipa, warnanya sudah jernih. Meski terkadang masih ada sedikit kotoran yang terlihat dan berwarna coklat. Tapi, paling tidak kita bisa merasakan "air jernih" karena dikelola tadi. 

Apa kabarnya warga  yang tinggal dipedesaan, yang mungkin belum tersentuh air ledeng/PAM, hingga tetap mengandalkan air sungai sebagai pemenuh kebutuhan konsumsi air mereka, yang kondisinya sudah bercampur dengan bekas busa cuci baju dan tinja manusia yang buang air disungai.

Nah, dampak semua ini.... ujung-ujungnya... akan sering terdengar teriakan kurang air bersih disana dan disini. Dibeberapa cerita dari daerah di Indonesia, ada yang  bisa mendapatkan air bersih, tapi mesti jauuuuhh ngambilnya berkilo-kilo meter. Atau, mesti beli, dan mahal! Ya ampun, air kita berlimpah tapi kok mesti pake beli sih. Ya, itulah resikonya kalau sungai-sungai kita kotor dan tercemar. 
  
Seperti yang dialami oleh Warga Dusun Halimuti, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan dengan Timor Leste, terpaksa harus mengkonsumsi air sungai yang tercemar kotoran hewan, lantaran belum memiliki akses ke air bersih.

Kondisi ini sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu, namun perhatian serius dari pemerintah setempat tak kunjung datang. Akibatnya warga hanya bisa pasrah dan terpaksa mengkonsumsi air kotor meski mengancam kesehatan.

Dengan alat seadanya, warga dusun berpenduduk 520 jiwa itu menggali lubang kecil di pinggir sungai demi mendapatkan air resapan yang cukup bersih. Namun tetap saja air yang mereka peroleh sudah tercampur dengan kotoran hewan peliharaan warga.

Warga Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, mengambil air di kali yang sudah tercemar kotoran hewan, yang dipakai untuk keperluan minum, masak dan cuci.  Sbr:http://regional.kompas.com


Tak hanya di Kabupaten Belu yang mengalami krisis air bersih, Kabupaten Kupang, Ende, Sikka, Flores Timur dan Sumba Timur NTT, juga mengalami hal serupa. Sementara di Banjarmasin, Banjar, Kapuas, Palangkaraya, Pontianak  dan Balikpapan masih kesulitan untuk mendapatkan pasokan dan akses air bersih. 

Ya, ketersediaan dan akses terhadap air bersih menjadi salah satu persoalan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat di Tanah Air. Bahkan, dari delapan target yang ditetapkan dalam Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia masih kesulitan untuk mencapai target peningkatan akses terhadap air bersih dan kualitas sanitasi. 

Di Indonesia, 119 juta rakyat belum memiliki akses terhadap air bersih. Baru 20 persen, itu pun kebanyakan di daerah perkotaan, sedangkan 82 persen rakyat Indonesia mengkonsumsi air yang tak layak untuk kesehatan. Menurut badan dunia yang mengatur soal air, World Water Assessment Programme, krisis air memberi dampak yang mengenaskan: membangkitkan epidemi penyakit, seperti kolera, hepatitis, polymearitis, typoid, disentrin trachoma, malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan.

Tanpa akses air minum yang bersih, menurut organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO), 3.800 anak meninggal tiap hari oleh penyakit. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 2 miliar manusia perhari terkena dampak kekurangan air di 40 negara, dan 1,1 miliar tak mendapat air yang memadai.

Trus, kalau begitu....bisa gak kita hemat air...? Harus bisa..! Misalnya, membilas baju gak usah terlalu bar-bar airnya. Ketika mandi, diusahkan pake shower, bukan gayung, dan saat gigi atau cuci tangan, jangan lupa kerannya ditutup.

Tapi, kalo tuk kesehatan tubuh, wah, kita "gak bisa" menghemat air.

Kenapa...? 

Setiap hari kita harus mengkonsumsi air minimal 8-10 gelas perhari. Karena 70% tubuh manusia terdiri dari cairan, sehingga kita harus menjaga asupan cairan dalam tubuh agar tidak terjadi dehidrasi atau kekurangan cairan, yang bisa menganggu keseimbangan dan metabolisme dalam tubuh. Ada banyak lagi alasan kenapa kita "gak bisa" menghemat air tuk diminum. Air itu, bisa membuat  pencernaan kita lancar. Dengan air juga, fungsi ginjal dan hati baik, sehingga dapat membuang racun-racun dalam tubuh yang dapat menyebabkan aneka penyakit. Air, juga bisa menjaga keseimbangan tubuh, jika jumlah air dalam tubuh manusia berkurang maka fungsi organ-organ tubuh juga akan ikut menurun dan lebih mudah terganggu oleh bakteri dan virus. Tuh, banyak, kan fungsinya. 
 
Sbg gbr :http://airkesehatanoxygen.blogspot.com

Dengan begitu banyaknya fungsi air dan kehidupan, maka standar kelayakan kebutuhan air bersih adalah 49,5 liter/kapita/hari. Kalau dari data Badan dunia UNESCO, menetapkan hak dasar manusia atas air yaitu sebesar 60 ltr/org/hari. Bahkan, untuk yang tinggal di kota metropolitan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyebut standar kebutuhan air bisa mencapai 110-130 liter/per kapita/hari.

Coba, kita sedikit main hitung-hitungan.
Andaikan tuk orang yang tinggal di Jakarta ini saja, setiap hari membutuhkan  sekitar 130 liter air per orang, dan kalau kota metropolitan ini isinya ada 9 juta orang, maka diperlukan sekitar 1,170 juta meter kubik perhari. Sedangkan, perusahaan air minum baru bisa memenuhi kebutuhan 50 persen lebih, itu pun kalau tidak ada masalah. Nah, jika didalam rumah anda ada 5 orang misalnya, kalikan saja berapa jumlah liter air yang harus dikonsumsi dan digunakan setiap hari. Ini baru itung-itungan di Jakarta saja, belum di daerah lain.

Ah, saya baru ngeh, ini toh kaitannya dengan dampak meledaknya jumlah penduduk maka berdampak pula pada kebutuhan air, dan air bersih, plus kebutuhan sandang, pangan dan papan juga pastinya. Ulalala, capek ya membayangkannya. Tapi, andai dari dulu ada kesadaran tuk tidak menjadikan sungai sebagai tempat buang sampah, buang hajat dan buang limbah, tentu tak akan begini ceritanya. 
 
Komplek ya kalau ngomongin benang merahnya air dan kehidupan kita. Padahal, kalau air dan lingkungan kita bersih dan sehat, tentulah kita juga sehat. Kalau sudah sehat, kita bisa menghemat trilyunan rupiah, yang selama ini terbuang hanya untuk urusan berobat doang. Gak percaya sampe trilyunan rupiah..?

Nih, Asian Development Bank (2008)  menyebutkan pencemaran air di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun. Biaya akibat pencemaran air ini mencakup biaya kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi. Nah... Itu angka ditahun 2008 lalu, lo. Apa kabar angkanya ketika kita sudah hampir menginjak tahun 2015 ini...? Plus, mengingat kondisi sungai masih begitu parahnya. Padahal, sungai itu penunjang siklus kehidupan. 


Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa yang perlu dilakukan..?

Kalau alasan warga membuang sampah ke sungai itu adalah karena kurangnya tempat pembuangan sampah, berarti ini pe-er tuk pemerintah agar segera  menyediakan tempat pembuangan sampah yang lebih banyak lagi, terutama tuk warga yang berada dipinggiran sungai.  Oh, ya terkait ini, saja jadi ingat beberapa waktu lalu, saya main kerumah teman yang rumahnya tinggal didekat atau tepatnya didepan sungai, didaerah Sumatera.  Rumahnya berhadapan dengan sungai, hanya dipisahkan oleh jalan raya. Saya kaget ketika melihat ada tulisan pada papan yang berada dipinggir sungai berbunyi  "Dilarang buang sampah di Sungai. Jika melanggar akan dikenakan denda".

Saya nyegir sekaligus senang melihatnya. Bertahun-tahun saya sering main kesana, tak pernah terlihat tulisan itu. Bertahun-tahun pula saya melihat warga sekitarnya membuang sampah di sungai. Tapi, dalam dua tahun ini, tulisan itu sudah terpampang nyata. Artinya, pemerintah disana sudah mengajak warga agar tak buang sampah disungai. Dengan adanya tulisan "peringatan" itu, wargapun menaruh sampahnya dengan cara digantung/ dikaitkan  pada tonggak kayu yang memang dikhususkan tuk mengaitkan kantung sampah. Tentu ini sangat menolong kebersihan sungai. Namun, sayang, aktifitas cuci , mandi dan buang hajat/BAB masih dilakukan di sungai, padahal, beberapa rumah yang ada disana sudah menyediakan sumur. 

World Bank Water Sanitation Program (WSP) pada 2013 lalu menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua di dunia sebagai negara dengan sanitasi buruk. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melansir data bahwa 63 juta penduduk Indonesia tidak memiliki toilet dan masih buang air besar (BAB) sembarangan di sungai, laut, atau di permukaan tanah.

Yah, memang tak mungkin sih merubah kebiasaan masyarakat secara cepat, mesti perlahan-lahan. Mudah-mudahan nanti semua penduduk diwajibkan harus mempunyai  WC dan sumur sendiri, agar aktifitas MCK (manci cuci kakus) bisa dilakukan di area rumah, dengan sistem pembuangan/penyaluran limbah yang baik, bukan disungai lagi.

Nah, perbaikan sanitasi di masing-masing wilayah yang  ada di Indonesia ini, juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Sisihkan anggaran tuk membantu warga yang tidak mampu tuk membangun tempat MCK dan sumur yang berjarak kurang lebih 10-12 meter dari septic tank. Bila perlu, ada dana khusus yang digelontorkan setiap bulannya ke masing-masing RT/RW  agar warga bisa menata tempat tinggal dan hidup mereka kearah yang lebih baik lagi. Kalau mereka sudah punya sanitasi yang baik, tentu, kegiatan buang hajat di sungaipun akan berkurang. Dan itu akan berpengaruh terhadap kualitas sungai. 

Pengelolaan sungaipun harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, agar semuanya berjalan dengan optimal. 

Untuk impelementasi atau penyempurnaan dari semua ini, tentu perlu ketegasan dari para penegak hukum agar menjalankan disiplin penegakan sanksi yang nyata dan diberlakukan, agar pengelolaan sungai bisa berjalan dengan baik dan efektif. Untuk Jakarta, harusnya awal tahun 2014 ini sudah dimulai peraturan dari Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan denda Rp.500.000 bagi warga yang ketahuan buang sampah disungai, atau di tempat umum. Sedangkan tuk perusahaan yang kedapatan membuang limbah di sungai, dikenakan  sanksi Rp.50.000.000. Tapi, saat ini saya belum mendengar ada warga yang dikenakan sanksi tersebut, alias tidak efektif. Apa perlu dipasang CCTV ya, agar bisa melihat siapa yang sering buang sampah di sungai. Jangan hanya modal tulisan atau gertak saja. Jika ada orang yang dihukum atau terbukti kena denda jika ketahuan buang sampah atau mencemari sungai, maka ini akan memberikan efek jera terhadap warga. Sanksi tegaspun harus diterapkan.

Pun dengan penertiban dan pengawasan terhadap pabrik-pabrik yang keberadaannya ada didekat sungai. Limbah yang mereka buang seenak jidad itu sangat jahat sekali tuk kelanjutan ekosistem dan kualitas air. Parah sekali. Berkali-kali diusut, kok ya, terjadi lagi, sih. Haduh... ya, kalau    hukumnya hanya main-main saja, ya warga dan oknum tertentupun juga akan tetap saja tak menghargai sungai.  

Begitu pula dengan oknum-oknum yang membangun gedung atau hunian yang berada didekat aliran sungai. Ini juga harusnya ditindak tegas, karena akan merusak DAS, selain akan  mengurangi wilayah resapan air, yang bisa sebabkan banjir.
Inilah sungai kita  Sbr gbr : http://www.antaranews.com/
  
Banyaknya pemukiman atau warga yang tinggal di bantaran sungai, selain membuat sungai kotor akibat aktivitas warga, juga memperparah tata guna sungai. Untuk itu, diharapkan ada peraturan yang melarang tegas  mendiami daerah aliran sungai sejauh 1 km dan berhenti   mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk seluruh bangunan yang akan didirikan di sempadan sungai.

Biarkanlah daerah aliran sungai bebas dari daerah hunian. Lantas, daerah tersebut bisa ditanami pepohonan, yang berfungsi sebagai penahan tanah. 
 
Lalu, tuk diri kita sendiri, apa yang harus kita lakukan...? 

Aksi bersih sungai dan tanam pohon
Kita bisa melakukan aksi bersih-bersih sungai, dengan bergabung bersama kelompok/komunitas pencinta lingkungan. Sebut saja seperti Komunitas Peduli Ciliwung, yang beberapa kali melakukan kegiatan Susur sungai, sambil memunguti sampah. Kita juga bisa ikut melakukan hal ini, sekalian ajak juga  teman-teman, saudara juga tetangga tuk menggerakkan hatinya ikut membersihkan sungai. 

Aksi bersih-bersih Ciliwung. Sbr gbr http://www.tribunnews.com/

 
Beberapa waktu lalu, sayapun terlibat dalam acara pembersihan kali pesanggarahan di Jakarta ini. Bersama dengan adik-adik pelajar, dan tim dari Sanggabuana, kami bergerilya “nyemplung” kesungai Pesanggrahan tuk membersihkan sampah dan membuang bibit  ikan-ikan kecil di sungai. Bibit ikan ini sengaja dilempar kesungai, agar mereka bisa leluasa hidup dihabitatnya, setelah sebelumnya sempat diternakkan dalam kolam. Kehadiran ikan-ikan ini juga bisa membantu menjernihkan sungai. Selain itu, kami juga menanam pepohonan disekitar kali, agar bisa menyerap air yang berlebihan  jika sungainya  meluap, sekaligus tuk merimbunkan kawasan sungai. 

Diacara tersebut, kami juga menghimbau warga agar tak buang sampah ke sungai dan menggalakkan gerakan pengelolaan limbah rumah tangga secara komunal. Seperti melakukan daur ulang sampah dan menggunakan kembali bekas wadah plastik kemasan tuk keperluan rumah tangga. 

Ajakan menghemat airpun, terus dilakukan.  Salah satunya dengan cara selalu rajin mengecek kran air yang bocor, menutup kran air saat sikat gigi dan cuci tangan, dan perbanyak lubang biopori. 




Sumur Resapan.. 

Mengatasi kondisi kesulitan air bersih untuk mandi dan mencuci baju misalnya, kita bisa mensiasatinya dengan membuat sumur resapan. Pembuatan sumur resapan, bisa meningkatkan resapan air, selain agar kita tak terlalu mengandalkan sungai yang tak sehat lagi

Sederhana kok prinsip kerjanya. Sumur resapan itu berfungsi menyimpan (untuk sementara) air hujan dalam lubang yang sengaja dibuat, selanjutnya air tampungan akan masuk ke dalam tanah sebagai air resapan (infiltrasi). Air resapan ini selanjutnya menjadi cadangan air tanah.
 
Banyak lo manfaat sumur resapan ini. Berkatnya, banjir bisa dikendalikan.  Juga berguna tuk melindungi serta memperbaiki kualitas air tanah, menekan laju erosi dan dalam jangka waktu lama dapat memberi cadangan air tanah yang cukup. Tapi, air dari sumur resapan ini tak bisa dipakai untuk diminum, karena rasanya payau. Tapi, paling tidak, kita bisa memanfaatkannya tuk mandi dan cuci baju. Kehadiran sumur resapan juga bisa meringankan ketakutan kita dari dampak pencemaran  air karena sungai yang kotor.  

Sumur resapan. Sbr gbr: disini

Banyak pihak yang bergerak..

Terkait permasalahan sungai ini, beberapa pihak sudah bergerak. Karena saya tinggal di Jakarta, saya pun tak menutup mata kalau sudah terlihat usaha dari pemerintah DKI Jakarta untuk menangani sungai ciliwung yang mengalir di ibu kota ini. Mulai dari pengelolaan air secara struktural, seperti menormalisasi sungai, sudetan, memperbaiki situ, yang diharapkan bisa meningkatkan resapan air ke tanah. Selain itu, pembenahan pintu air serta menambah armada truk sampah tuk angkut sampah yang teronggok dipintu air, juga dilakukan. Semua ini bertujuan agar  bisa membuat sungai lebih baik dan mencegah banjir.  

Di era kepemimpinan Gubernur Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama yang merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai di Jakarta, lantas memberikan mereka rumah susun sebagai solusinya, merupakan langkah baik untuk menyehatkan sungai dari aktivitas warga yang kurang peduli akan kebersihan sungai. 

Tak hanya gerakan dari pemerintah, beberapa perusahaan ternama yang peduli lingkunganpun, bergerak bersama untuk berjuang menyelamatkan sungai. Program AQUA Lestari misalnya, yang digagas oleh Perusahaan Danone, juga direalisasikan untuk melaksanakan berbagai inisiatif sosial dan lingkungan yang mencakup wilayah sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terintegrasi dari wilayah hulu, tengah, dan hilir di lokasi AQUA Group beroperasi yang disesuaikan dengan konteks lokal. 

Berbagai inisiatif tersebut berada di bawah empat pilar, yaitu: Pelestarian Air dan Lingkungan, Praktik Perusahaan Ramah Lingkungan, Pengelolaan Distribusi Produk, serta Pelibatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Pelestarian air dan lingkungan, bagi Aqua memang merupakan upaya terhadap manajemen sumber daya air yang berkelanjutan, baik untuk operasional bisnis maupun sosial-lingkungan, melalui keseimbangan neraca air, pengendalian kualitas air, dan pengelolaan sumber daya air. Upaya tersebut dimulai dengan mengeluarkan "Kebijakan DANONE AQUA terhadap Perlindungan Sumber Daya Air". Kebijakan ini menjadi dasar dari program-program yang dilaksanakan, diantaranya penelitian-penelitian terkait sumber daya air, pendidikan lingkungan hidup, rehabilitasi saluran irigasi, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, biopori, dan lain-lain.
 
AQUA peduli dengan kebaikan hidup masyarakat Indonesia. Program "Dari Kita untuk Indonesia” merupakan salah satu wujud kepedulian AQUA untuk berkontribusi terhadap peningkatan akses air bersih dan penyehatan lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat dan kemitraan multipihak

Salahsatu yang dibidik AQUA adalah lingkungan sungai, karena AQUA peduli terhadap kesehatan warga dan penyelamatan lingkungan sekitarnya, agar masyarakat yang berada disekitarnya bisa menikmati kehidupan yang bersih dan terkendali. Apa yang dilakukan oleh perusahaan ini, tentu sejalan dengan misi pemerintah, para penggiat lingkungan dan juga masyarakat. Dan semua itu bertujuan tuk Indonesia yang lebih baik dan sehat, juga tuk mewujudkan kondisi sungai yang terawat, agar peningkatan air bersih bisa dicapai, seperti gambar dibawah ini, 

Beuh, sungainya indah sekali.. Sbr gbr http://kotakitaku.blogspot.com


Bersih, jernih, dan jadi tempat wisata dan transportasi kota yang keren nan modern. Ini adalah salah satu sungai yang ada di Osaka, Jepang. Sungainya berfungsi dengan baik, dan menjadi objek wisata.

Ingin dong kita pastinya dengan suasana dan kondisi keren pada penampakan gambar diatas. Ya, kalau mau sungai kita indah, kita harus menghargai dan menjaga sungai. Itu saja sih kuncinya... Semoga saja, ditahun-tahun mendatang, tak ada lagi cerita sungai berwarna merah, biru, hitam ataupun coklat yang mengalir di Indonesia.

Namun, memang, tak semudah mengedipkan mata dan menyunggingkan senyuman untuk membuat kondisi sungai dan lingkungan disekitarnya membaik. Kondisi yang begitu parah, akan memerlukan waktu panjang tuk membuatnya pulih, itupun tak akan bisa pulih hingga seratus persen, mengingat dampak kualitas air yang  sudah tercemar berat. 

Dalam Rencana Umum Pemulihan Kualitas Lingkungan Sungai Ciliwung 2010-2030, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, diperkirakan butuh dana sekitar Rp5,7 triliun guna mendukung program tersebut selama jangka waktu 20 tahun.
 
Dana yang tak sedikit itu,  diproyeksikan bagi program pengendalian pencemaran air dan pengendalian kerusakan lingkungan seperti pembangunan WC komunal, pengelolaan sampah, fasilitas biogas, sumur resapan, rehabilitasi lahan, dan pembangunan dam (bendungan).

Wow, begitu dahsyatnya biaya dan waktu yang harus ditunggu tuk memulihkan keadaan kualitas sungai dan lingkungan sekitarnya. Namun, tak perlu berkecil hati, sedikit apapun yang kita lakukan untuk perbaikan sungai dengan cara yang saya katakan tadi, tentu akan membantu kemajuan pemulihan kualitas sungai. 


AQUA memberikan cita rasa air jernih


So, jika, hal-hal diatas tadi masih belum cukup memberikan kepuasan atau belum nampak membaik, karena perlu waktu yang tak sebentar tuk memulihkannya, setidaknya, sampai saat ini kita masih punya air dari sumber yang bersih, jernih dan layak di konsumsi. 

Air itu berasal dari sumber mata air pegunungan. Jauuuh, mesti kesana..? Saya gak mengajak anda tuk kesana kok, tapi kalo mau juga gak papa, hehhe.. Tapi, ini adalah air kemasan AQUA, yang berasal dari mata air pegunungan. Kita bisa kemanapun ditemani oleh air yang menyehatkan dan menyejukkan ini, tanpa harus takut terkontaminasi.

Galon Aqua di kantorku..
Di kantor sayapun, selalu sedia air galon Aqua, karena kami percaya kualitasnya. Dari tiga lantai gedung kantor, semuanya menggunakan air Aqua. Setiap dua minggu sekali, mobil truk Aqua menyambangi kantor kami mengantarkan   puluhan galon tuk persediaan selama 2 hingga 3 minggu. Kantor kami sudah langganan sejak lama.

Aqua nongkrong dikamar.
Bahkan, sebagai anak kos, sayapun memilih Aqua, jika persediaan air di kamar kos habis. 

Bekas kemasan botol Aqua yang sudah habis airnya, salahsatunya saya jadikan celengan uang koin. Atau bisa juga dijadikan tempat wadah pulpen, gunting, dan barang printilan lainnya.

Selain hemat, karena gak perlu beli celengan atau wadah baru lagi, tapi itu juga bearti sudah termasuk penerapan re-use, menggunakan kembali, dan reduce, mengurangi sampah plastik kemasan, yang sulit diurai oleh alam. Dan kecenya lagi, celengan saya jadi  transparan, alias kelihatan recehnya, seperti gambar yang ada disebelah kanan anda.


Air adalah Nafas Kehidupan

Air itu nafas kehidupan. Sungai adalah urat nadi kehidupan. Dan kebersihan sanitasi adalah jiwanya. Jika jiwanya baik, maka nafas yang keluarpun akan sehat, dan nadipun akan berdenyut normal. Andai air tak dihargai, kepada siapa  kita akan mengemis tuk melangsungkan kehidupan ini. Kepada siapa pula kita mengadu karena kekurangan air, hingga menyebabkan tubuh tidak fit lagi..? Air dan kehidupan, tak kan pernah lepas dari lingkungan yang ada disekitarnya. 

Namun, kita tak mungin membeli air kemasan setiap hari, atau pergi jalan-jalan ke daerah pegunungan setiap pekan, demi mendapatkan air besih nan jernih. Nah, ujung-ujungnya, air yang ada disekitar lingkungan juga yang akan kita cari dan manfaatkan, bukan..?  Namun sayang, air bersih sudah jarang ditemui.

So, andai sungai yang harusnya menjadi nafas kehidupan, hanya dijadikan tumbal pembuangan segala hajat dan limbah, entahlah pada siapa lagi kita akan bergantung agar bisa terus melanjutkan hidup, karena pada kenyataannya, banyak orang yang bisa menahan lapar, namun tak bisa menahan haus. Ekosistem lain seperti pertanian, hutan dan lahan basah, yang bergantung pada sungaipun, tentu akan rapuh. Ikan-ikanpun, tak akan bisa hidup kalau air sungainya keruh. Mereka juga akan "haus", sama seperti kita, manusia. 

Sanggupkah kita  haus dalam jangka waktu lama?  
Maukah kita sakit gara-gara air kotor dan mengeluarkan uang yang tak sedikit..?

Kalau tak mau dan tak sanggup, maka, hemat dan peliharalah air, selamatkan sungai dari segala hal yang merusaknya. Karena jika sungai bersih dan sehat,  Indonesia akan lebih sehat. 


Sumber : 
aqua(dot)com
www(dot)republika(dot)co(dot)id
nurju(dot)blogspot(dot)com
sindonews(dot)com
news(dot)detik(dot)com
alamendah(dot)org
kompas(dot)com
atbbatam(dot)com 
tempo(dot)co
acehvideo(dot)tv
nutrisiuntukbangsa(dot)org
anneahira(dot)com
bimbie(dot)com
kamusilmiah(dot)com
banyuwangikab(dot)go(dot)id