Kemarin,
saya melihat ada seorang laki-laki pedagang sandal berlutut dihadapan seorang wanita muda,
dipinggir jalan.
Saya melihat
dari jauh.
“Kenapa,
ya..? Kok begitu..?”, hati saya
bertanya....
Apa tukang
jual sandal itu ada berbuat kesalahan sama si wanita yang sedang ada
dihadapannya, sehingga harus bergaya layaknya orang yang sedang memohon dengan
posisi telapak tangan dirapatkan dan ditaruh di atas kepalanya..?
Si wanita yang berusia sekitar 30 tahunan itu hanya berdiri terpaku dan memandang heran plus penuh tanda tanya pada si pedagang yang sedari tadi duduk jongkok dihadapannya. Saya berjalan mendekati mereka, sambil berpura-pura menunggu angkot di pinggir jalan.
Si wanita yang berusia sekitar 30 tahunan itu hanya berdiri terpaku dan memandang heran plus penuh tanda tanya pada si pedagang yang sedari tadi duduk jongkok dihadapannya. Saya berjalan mendekati mereka, sambil berpura-pura menunggu angkot di pinggir jalan.
Setelah
jarak saya dan keduanya hanya terpaut 5 meter, terdengarlah dialog antara si
wanita yang sepertinya sedang menunggu angkutan umum, dan si pedagang yang duduk dengan wajah memelas, layaknya anak
kecil yang sedang merengek pada orang tuanya.
Oh, rupanya
pedagang itu sedang menjajakan sandal dagangannya pada si wanita yang (sepertinya)
hendak pergi ke kantor itu. Ia membawa barang
jualannya yang ditaruh pada tas besar yang ia bopong.
“Tolong, Teh, barang
dagangan saya belum laku dari tadi. Saya gak punya uang sama sekali. Sementara
saya harus pulang ke Sukabumi. Kalau Teteh mau membelinya, saya janji akan
doakan Teteh semoga sukses dan saya gak akan lupa sama kebaikan Teteh”
Begitulah
permohonan Tukang sandal yang berusia sekitar 30 tahun itu, agar wanita yang
ada dihadapannya, bersedia membeli daganganya. Sepasang sandal berwarna
hitam, telah ia keluarkan dari dalam tas
birunya dan ditunjukkan kepada wanita yang ia panggil “Teteh”. Permohonannya,
masih ia ucapkan berkali-kali.
Awalnya, si
wanita yang dipanggil Teteh, menolak, dan terlihat sekali kalau ia tak tertarik
dengan model sandal-sandal pria dan wanita yang sudah ia pandangi sedari tadi
itu. Mungkin, ia juga merasa belum butuh. Namun, si Teteh masih berdiri di
trotoar jalan. Ia tak berusaha
menghindari atau berlari dari si pedagang yang kerah bajunya rombeng itu. Atau
mungkin juga, karena mobil angkutan umum yang ia tunggu belum juga muncul, jadi
wanita berambut panjang itu tak punya alasan untuk menghindari pedagang sandal yang masih merengek memohon
kepadanya. Sang pedagangpun tak mau ambil pusing pada orang-orang yang melintas
dan melihatnya heran. Tak peduli kalau ia dibilang tak tahu malu atau tak sopan.
Melihat
pemandangan itu, hati saya berkata: “Bisa saja si pedagang ini memang kepepet kali ya, jadi ia sampe memohon
seperti itu."
“Emang tadi jualan kemana saja mas..?” Wanita berkulit sawo matang itu bertanya.
“Saya
sudah jualan dari pasar genjing, udah jalan dari sana ke sini dan mampir
ke beberapa tempat, tapi belum ada satupun yang laku. Saya minta tolooong bener
sama Teteh, supaya mau beli sandal saya. Coba lihat, Teh, ini dompet saya,
kosong gak ada duitnya. Ini KTP saya, nih beneran saya dari Sukabumi kalau Teteh
gak percaya. Kalau saya gak bawa duit, saya gak bisa pulang ke Sukabumi hari ini, Teh", ujarnya
dengan logat sunda sambil sambil menyodorkan dompetnya yang kosong, berusaha
meyakinkan si teteh bahwa ia benar-benar butuh pertolongan.
Ehm, sepertinya
si teteh sudah mulai melunak. Sambil membungkukkan badan, ia mulai memilih-milah
sandal bawaan si pedagang.
“Kalau
ini berapa?,' si Teteh menunjuk salah satu sandal hitam yang diletakkan diatas trotoar jalan itu.
“Ini 65
ribu, kalau yang ini 75 ribu, Teh”.
“Wah
mahal amat..! Gak 50 ribu saja, ya?" Si teteh menawar
“Waduh
jangan Teh, saya nombok nanti, kalau yang hitam ini modalnya saja, 75 ribu. Kalau Teteh mau, ya ambil saja dengan
harga segitu, tapi saya berharap sih dilebihin gitu, biar dapat untung dikit,” si pedagang mulai tampak kegirangan karena
“rayuannya” tampaknya mujarab.
Setelah
mencoba beberapa nomor sandal yang dirasa pas ditelapak kaki jenjangnya, si
teteh mengeluarkan uang seratus ribu.
“Kalau aku
kasih seratus ribu, ada kembaliannya gak..? ujar si teteh sambil menyodorkan dua lembar uang
50 ribuan. (Mungkin ia gak punya uang pas)
“Kan
sudah saya bilang tadi, saya seribu saja gak punya, Teh.”
“Ya, udah
deh..ambil aja kalau gitu sisanya,” si teteh tersenyum.
Bukan main
girangnya laki-laki itu mengambil dua lembar uang berwana biru dari tangan
wanita yang berhasil 'dirayunya” , sambil bersalaman sebagai ucapan
terima kasih, diselingi ucapan beribu doa buat si teteh.
“Semoga
sukses, Teh, banyak rezeki dan bla bla.bla...,” ujar si pedagang sambil membenahi barang
dagangannya dan bersiap pergi menginggalkan si teteh, untuk melanjutkan lagi
pencarian rezeki selanjutnya.
Si teteh
hanya bilang “Amin”..., sembari memandangi si pedagang yang
beranjak meninggalkannya dari tepi trotoar jalan.
Ya, semoga
doa si penjual sandal yang katanya tak laku itu, bisa dijabah oleh Tuhan .
Itulah
pemandangan yang saya lihat kemarin pagi, di trotoar depan kantor, yang
kebetulan saya juga melintas disana.
Ilustrasi |
Perjuangan Pedagang sandal
Terlepas
dari bohong atau tidak ucapan si penjual sandal yang mengaku kalau dagangannya
gak laku, gak punya uang tuk pulang ke Sukabumi, gak bisa makan, dsb....tapi
saya tahu... tak mudah memang untuk menjajakan dagangan yang door to door atau
dari rumah ke rumah. Apalagi yang ditawarkan adalah barang dagangan yang
harganya di atas 50 ribuan. Orang kadang malas, gak tertarik atau mungkin emoh
untuk membeli, karena pilihan yang dihadirkanpun tak begitu banyak.
Saya sering
melihat beberapa tukang jual sandal yang melintas di depan rumah. Bahu kanannya sampai miring sebelah karena
keberatan membawa barang dagangan yang banyak. Menapaki lorong demi lorong, pindah
dari satu tempat ke tempat lain. Tak sedikit penolakan dari orang yang mereka tawarkan. yang harus mereka
terima setiap harinya. Meski, saya tahu, mereka sudah berupaya menarik perhatian
pembeli dengan mengatakan “Dilihat dulu, mbak, ini model baru lho,
bahannya bagus, dsb... Ya, kalau dibuat perbandingan ala saya, mungkin
10 berbanding 1 (10:1), antara orang yang tidak membeli dengan yang membeli.
Sungguh
bukan hal yang ringan yang harus dilalui oleh para pedagang itu. Berjalan
berkilo-kilo meter setiap hari. Menghadang hujan, melawan panas, berpura-pura
lupa kalau lapar dan haus. Capek,
pastinya. Namun, si penjualpun tak punya pilihan. Jauuuuh mereka membawa barang
dagangannya dari daerah asal, lantas menjualnya ke Jakarta, berharap orang-orang
yang tinggal di kota metropolitan ini, yang mereka pikir banyak duit dan royal
itu bakal mudah membeli dagangan mereka.
Namun,
kadang hidup tak seperti yang dipikirkan. Orang-orang Jakarta, menurut
pengamatan saya, ya gak juga selalu tertarik dengan dagangan sandal yang
biasanya dijajakan dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki itu, termasuk saya.
Karena, secara logika, kalau orang memang butuh sandal atau sepatu, ya
pasti mereka akan pergi ke pasar, ke mall atau ke supermarket. Selain banyak
pilihan, kualitasnyapun biasanya lebih terjamin. Dan alasan yang lebih
sederhana lagi adalah, ya, sekalian cuci mata, hehehe..
Tapi, coba deh...kalau kita lagi santai-santai di teras rumah, eh, tetiba datang pedagang sandal atau pedagang yang menawarkan barang lain, biasanya kita langsung malas dan gak mood. Karena pada saat itu kita sedang tidak ada niat tuk belanja. Pikiran pun sedang tak tertuju pada barang yang dimaksud. Apalagi, ya tahu sendirikan sandal yang dijajakan dari penjual door to door itu, biasanya tak terlalu bagus model-modelnya, alias standar. Karena tak mungkin juga mereka menjajakan barang mewah yang modelnya trendy dengan harga selangit seperti sandal bermerk. Kalau gak laku, gimana..? Bisa bangkrut berlipat-lipat mereka. Makanya, para pedagang kebanyakan membawa model sandal yang standar, dengan harga yang juga standar. Yang akhirnya, kalaupun itu gak laku, paling ruginya ya rugi standar juga. Itu sih pemikiran saya, hehehe.
Btw, balik lagi ke cerita di awal tadi.
Ya, memang gak ada salahnya kalau kita sedang punya duit lebih, lantas melihat wajah memelas sang pedagang sandal, bahkan sampe memohon-mohon seperti pemandangan yang saya lihat kemarin, ya sudahlah, dibeli sajalah barangnya. Kasihan. Perjuangan mereka berat, bro.
Lagian, hitung-hitung buat amal juga. Paling tidak, kita sudah membuat satu hati tersenyum, dan satu jiwa bisa makan di hari itu, dari kerelaan kita membeli sandal yang mungkin tak kita butuhkan saat itu, seperti yang dilakukan oleh si Teteh, yang saya juga gak tau siapa dia dan siapa namanya...:)
Tapi, coba deh...kalau kita lagi santai-santai di teras rumah, eh, tetiba datang pedagang sandal atau pedagang yang menawarkan barang lain, biasanya kita langsung malas dan gak mood. Karena pada saat itu kita sedang tidak ada niat tuk belanja. Pikiran pun sedang tak tertuju pada barang yang dimaksud. Apalagi, ya tahu sendirikan sandal yang dijajakan dari penjual door to door itu, biasanya tak terlalu bagus model-modelnya, alias standar. Karena tak mungkin juga mereka menjajakan barang mewah yang modelnya trendy dengan harga selangit seperti sandal bermerk. Kalau gak laku, gimana..? Bisa bangkrut berlipat-lipat mereka. Makanya, para pedagang kebanyakan membawa model sandal yang standar, dengan harga yang juga standar. Yang akhirnya, kalaupun itu gak laku, paling ruginya ya rugi standar juga. Itu sih pemikiran saya, hehehe.
Btw, balik lagi ke cerita di awal tadi.
Ya, memang gak ada salahnya kalau kita sedang punya duit lebih, lantas melihat wajah memelas sang pedagang sandal, bahkan sampe memohon-mohon seperti pemandangan yang saya lihat kemarin, ya sudahlah, dibeli sajalah barangnya. Kasihan. Perjuangan mereka berat, bro.
Lagian, hitung-hitung buat amal juga. Paling tidak, kita sudah membuat satu hati tersenyum, dan satu jiwa bisa makan di hari itu, dari kerelaan kita membeli sandal yang mungkin tak kita butuhkan saat itu, seperti yang dilakukan oleh si Teteh, yang saya juga gak tau siapa dia dan siapa namanya...:)