Rendang, Antara Kuah dan Jodoh

"Rendang itu udah enak. 

Kalau makan nasi, dan cuma hanya ada rendang doang, tanpa tambahan lauk yang bermacam- macampun, gak masalah, tetap bisa memuaskan  perut. 

Tinggal dicari 'lawan mainnya' aja, biar tambah lahap makan rendangnya. "

Itu yang selalu saya lakukan kalau lagi makan rendang, mencari pasangan yang tepat untuk disandingkan dengan masakan ciri khas orang Minang ini.  Terkadang, kalau lagi gak ada lauk dirumah dan cuma hanya ada sisa kuah rendang doang, (dagingnya udah lenyap entah kemana), saya tetap lahap lo makannya. Karena kuahnya itukan berjuta bumbu, jadi meski makan nasi cuma pake kuah doang, ya, enak enak saja dilidah saya. Kuahnya yang hitam  itu, saya anggap sebagai pengganti sambal, walau rasanya gak sepedas sambal, karena sudah berbaur dengan aneka adonan bumbu lainnya. 


Rendang & krupuk. Udah!
Nah, supaya lebih lahap lagi, saya mensiasatinya dengan mencari pasangan lauk tepat. Pasangan yang cocok untuk rendang, menurut saya adalah krupuk dan lalapan pete. Kalau gak ada krupuk, rasanya gimana gitu. Ada yang kurang deh. Kalau pete sih, ya kadang susah juga nyarinya, karena gak semua warung atau penjual sayur menjual pete. Tapi, kalau dah dapat petenya juga, "Alamak, enak kali coy, mertua lewat kagak bakal noleh deh, saking asyiknya kita melahap masakan yang berjodoh itu: rendang, pete plus krupuk", kata sepupu saya yang saat itu sedang makan bareng, ketika saya masih tinggal di Sumatera.

Kini, saya sudah tinggal di Jakarta, dan gak kerasa sudah 7 tahun menikmati beragam masakan yang dihadirkan di Ibu Kota tercinta ini. Rendang, masih menjadi salah satu makanan atau lauk favorit saya sejak dulu. Untuk anak kos seperti saya, yang jarang masak karena (sok) sibuk kerja, kuah rendang itu berarti banget lo, meski dagingnya sudah gak ada lagi alias habis dimakan. 

Kenapa ? 

Karena Rendang, adalah makanan awet dan hemat. Maksudnya? Ya, rendang  adalah salah satu lauk atau makanan yang gak gampang basi meski sampai lewat satu bulan sekalipun, tanpa berubah rasa dan aroma. Semakin lama disimpan, semakin enak rasanya, semakin kering kuahnya semakin asyik, asal rajin aja dipanasin. So, tinggal masak nasinya aja di rice cooker buat pemantap perut tentunya. Karena gak ada nasi, kan gak nendang, ya perut orang Indonesialah, he..he..he.. Langkah selanjutnya, tinggal membeli krupuk di warung. Praktis dan hematkan?

Ini dia : Rendang Tacabiak!
Ketika bulan puasa yang baru saja berlalupun, rendangpun masih  jadi andalan saya tuk mensiati lauk praktis ala anak kos, supaya pas sahur gak perlu lagi kewarteg buat beli lauk. Ya, cukup dengan rendang saja! Nah, kebetulan daging rendang yang saya beli adalah daging rendang dalam bentuk kemasan yang sudah di cabik-cabik dagingnya. Jadi, lebih memudahkan tuk menggigitnya. 


Namanya: Rendang Tacabiak. 


Kebetulan ini kali pertama saya membeli rendang model kemasan, yang saya temui di acara Festival Wanita wirausaha Femina 2013 kemarin. Dan rendang yang saya beli adalah Rendang Uni Farah, pemenang Wanwir tahun 2009. Ceritanya, silahkan  baca disini .


Pose di Stand Rendang Uni farah

Cuma sayangnya, meski saya suka rendang, tapi dikeluarga saya, masak rendang itu barang langka lo.Ya, paling hanya setahun sekali ada adegan masak daging sapi nan kenyal bersantan pekat itu. Paling pas moment  lebaran, atau gak kalau ada acara keluarga, seperti arisan misalnya. Baru deh muncul tuh daging sapi yang siapa diolah jadi rendang. Ya, mungkin karena keluarga saya bukan orang padang kali ya.

Nah, karena di keluarga saya jarang masak rendang, otomatis jarang pula saya memakan rendang. Kecuali kalau lagi pengen, ya, tinggal beli aja di resto padang . Cuma, kalau beli rendang diwarung/resto padang yang ada di Jakarta ini, haduh, kok, ya, dagingnya kecil alias mini banget toh. Tidak seperti sepuluh tahun lalu, ketika saya masih tinggal di pulau sumatera, persatu irisan dagingnya masih besar, gempal, dan empuk. Sampe puas deh makannya. 

Lah hari gini, kalau beli sepotong rendang, cuma bisa buat dua sampai tiga kali gigitan aja. Trus habis. Tapi harganya, gak sesuai sama porsinya. Yah, untuk ukuran saya yang anak kosan, lumayan mahallah sekitar 8 sampai 11 ribu peririsnya. Tergantung resto Padangnya, juga sih. Kalau restonya sederhana, harganya cuma 8 ribuan, tapi kalau resto Padangnya bagus dan agak elit, biasanya mematok harga 11 ribuan.  "Uh, kecilnya daging rendang ini, mentang-mentang BBM udah naik, mentang-mentang bahan kebutuhan pokok pada mahal. Kok, daging rendang jadi korban kebijakan pemerintah juga sih ", gerutu saya kalau pas lagi beli rendang padang. 


Karena harga tak sebanding dengan ukuran itulah, akhirnya saya jadi jarang deh beli rendang karena kesal dengan ukurannya yang semakin mengecil. Padahal, andaikan harganya jadi 15 ribu Atau 20 ribu rupiah per-irispun, sebenernya gak masalah buat saya, asalkan porsinya benar- benar  sesuai dengan harganya  yang 15 ribu itu. Tapi, kalau lagi kepengen, ya saya beli juga sih, meski harus menahan emosi, karena melihat harganya  yang tak sesuai ukuran itu, hehehe…

Pokoknya kalau sudah ngerasain rendang, gak akan cukup hanya mencicipi seiris sajian daging. Pasti pengen nambah lagi. Lezat sih, dan tak ada yang bisa menandingi kelihaian orang padang kalau sudah meracik bumbu dan mengolah makanan. Kenapa saya katakan begitu? Karena, saya punya teman yang punya suami orang Padang. So, karena itu dia jadi  sering memasak rendang. Entah karena dia yang suka, atau emang permintaan suaminya. 

Rendang Kering. Gurih! Sbr foto; disini
Tapi, berkali kali saya menyantap  rendang buatannya, kok ya berkali-kali juga kuahnya encer atau gak sekental kuah rendang ala resto padang. Padahal dia sudah cukup lama menikah dengan suaminya yang orang padang itu. Tapi, kok belum mahir juga ya masak rendang? Nah, itu lo maksud saya tadi, kayaknya tak ada yang bisa menandingi kelihaian orang padang asli, kalau sudah berurusan dengan masak rendang, dan masakan padang lainnya. 

Ternyata, belakangan saya baru tau kalau proses memasak rendang asli, dapat menghabiskan waktu berjam-jam. Biasanya sekitar lima  sampai delapan jam. Diaduknya pun harus pelan-pelan dan sesering mungkin, hingga santan mengental dan bumbu terserap sempurna. Artinya, masak rendang itu, beneran harus telaten dan ditungguin. Semakin lama, semakin oke hasilnya dan kuahnyapun semakin kental. Wah, saya baru ngeh. Mungkin saja, teman saya itu tak sampai segitu lamanya ia masak rending dan harus ia tungguin pula. Pantesan, kalau dia masak rendang, kuahnya encer, karena kurang lama, jarang diaduk dan gak ditungguin lagi. Dibiarkan saja sampe tuh kuah mendidih dan mengental sendiri, paling sesekali aja ngaduknya Ha..ha..ha.. Tapi, yah paling tidak dia sudah berusaha  untuk masak rendang yang enak buat keluarganya.  Lah, saya ? Sampai sekarang saya belum pernah masak rendang, karena saya tau itu bakal ribet banget dan harus telaten

Rendang sedang dimasak..ehmm..ngilernyoo. Sbr foto;disini

Tapi, apapun itu, sebenarnya walau kuah rendangnya encer, seperti buatan teman saya, ya, tetap saya sikat juga sih. Karena rasanya tetep enak kok, walau memang sih, kalau boleh meminjam istilah baru dari penyanyi Syahrini, gak terlalu cetar  banget. dan gak seenak kalau orang padang asli yang masaknya. He..he..he.. Gak tau ya, apa ini hanya penilaian saya saja, atau mungkin beberapa teman yang lain juga ngerasain hal yang sama? 

Eh, waktu tau kalau rendang didapuk sebagai makanan terenak nomor satu didunia versi CNN,  bersanding dengan 50 makanan  terenak lainnya dari berbagai belahan dunia, yang dipublikasikan tahun 2011 lalu, ya banggalah saya sebagai orang Indonesia yang punya rendang dan pernah menyantapnya. Dalam hati, "Wow, hebat sekali, gak rugi deh saya suka makan rendang dan kuahnya yang pekat itu, karena rupanya tak hanya orang Indonesia yang suka rendang, tapi warga dunia pun menyukainya". 

Ya, berjuta bumbu yang meresap dalam  rendang, membuat banyak orang suka dengan daging sapi empuk dan berkuah santan nan kental itu. 



Rendang nongrong diposisi pertama. Ah, sedaaapp! Sbr foto: disini

Ehm, saya jadi teringat, empat tahun lalu, dua hari setelah Idul adha, saya dibawakan rendang oleh teman kantor, karena dia tau saya anak kos. Ketika itu saya bilang, ”Lumayan, saya jadi hemat buat beli lauk”, dengan ekpresi girang tentu. Cuma satu hari saja saya "selesaikan" daging rendang pemberian teman saya itu. Dihari berikutnya,  ketika tinggal tersisa kuahnya saja, saya langsung pergi kewarung mencari jodohnya rendang : krupuk! Beres deh.!

        

Puasa, mudik dan lebaran ala anak rantau


Yuk, mudiikk..

Beli makanan buat buka puasa diwarteg atau warung padang, sekalian langsung beli lauk yang berbeda, atau lauk yang sama tapi dengan porsi yang banyak. Lantas, setengahnya ditunda dulu buat nanti, dan dipanasin di rice cooker yang sudah berisi nasi, untuk dimakan saat sahur. Supaya, ketika saat sahur nanti, gak perlu capek-capek lagi mendatangi warteg buat beli penganan pengganjal perut. Cukup dengan membuka rice cooker, taraaa....sudah tersedia nasi dan lauk yang dipanasi sejak tadi malam, hehehe.. Itulah taktik sahur anak kost ala saya, yang gak ada kompor dikosan dan malas buat masak, karena cuma buat diri seorang, hihihi..

Rendang dan krupuk, cukup buat lauk sahur.
Ya, beda dong kalau kita masak buat keluarga satu rumah, pasti porsinya banyak, otomatis kita akan semangat masaknya, karena 'berjihat' untuk orang banyak juga. Tapi, kalau sorangan wae, dan dikamarpun hanya tersedia benda elekronik buat masak nasi, yo wes, itulah yang dimanfaatkan untuk segala hal. Bahkan, memasak airpun, benda ini juga yang digunakan, sekaligus sebagai alat pemanas masakan atau lauk, yang setiap bulan ramadhan gak pernah absen dimanfaatkan. Oh, ya satu lagi benda yang beneran harus wajib dijaga dan dirawat ketika bulan ramadhan, jam weker ! Yup, tanpa teriakan brisik dari  barang ini, saya bisa kebablasan tidur, karena gak ada yang membangunkan untuk sahur. Sesama anak kos, kadang saling cuek bebek, sendiri-sendiri. Atau ada juga yang niat mau bangunin penghuni kamar sebelah, tapi takut dianggap mengganggu, jadi serba salah deh.

Ehm, itu tadi  taktik sahur saya ketika ramadhan. Ada juga taktik lainnya ketika berburu oleh-oleh. Biasanya sebulan sebelum memasuki hingga sampai dibulan ramadhan, saya rajin banget lo pergi ke mall atau ke pasar. Bukan tuk senang-senang atau ngeceng gak jelas, tapi melipir ke toko baju buat mantau kira-kira mana ya baju yang cocok buat emak, kakak, ponakan, buat kakak ipar atau buat teman lama yang akan dijadikan oleh-oleh buat pulang kampung. Berhubung yang akan dibeli jumlahnya lumayan banyak, jadi itu baju harus dicicil dari sebelum ramadhan, dan biasanya harganya juga lebih murah, dibanding kalau beli baju mendekati hari H. "Kalau belinya langsung sekaligus banyak, waduh, kerasa banget bangkrutnya", begitulah ungkapan senada teman saya yang juga berburu oleh-oleh buat keluarganya dikampung. Maklumlah, yang namanya merantau, orang dikampung taunya kita sukses dan banyak duit ya, padahal mereka kagak tau kalau kita di pulau seberang empot-empotan, hahaha. Nah, pantau-pantau baju buat lebaran cantik jauh-jauh hari, juga ritual rutin yang saya lakukan jelang lebaran.

Ada juga hal lain yang harus saya pantau. Seminggu melalui ramadhan, saya mulai rajin membuka harga tiket pesawat secara online. Dipantau-pantau mana harga maskapai  yang paling murah dan sesuai ukuran dompet.. Kalau hari ini harga tiket maskapai yang diinginkan masih bercokol mahal, maka besok akan dicari lagi, sampai hari selanjutnya, hingga mendapatkan harga yang diinginkan, meski resikonya harus rela kehabisan tiket, andai tak juga dipesan secepatnya,, hehehe.

Kalau soal cuti kantor, wuih, udah jauh- jauh hari sudah ngajuin, karena mesti berebutan  dengan sesama teman kantor lain yang ingin mendapatkan restu juga dari atasan, meski tiket mudik belum ditangan, hehehe. "Yang penting izin cutinya udah beres! Soal tiket, bisa diatur nantilah.", begitu jawaban saya kepada teman sekantor yang menanyakan apakah saya sudah mendapat tiket  pesawat atau belum. Ya, kadang saya dapet tiket pas dua atau tiga hari sebelum hari H. Bahkan, pernah lo, saya dapatnya satu hari sebelum lebaran, dan itu dapet murah banget. Ah, rasanya girang banget, gak sia-sia hasil pantauan harga tiket yang tepat sasaran dan pas  waktu saat resmi membookingnya.

Pernah juga, tuh, disuatu lebaran, saya harus pulang naik bus, karena harga tiket pesawat tak kunjung menurun. Akhirnya daripada gak kebagian tiket, saya memutuskan naik bus antar kota., Lumayan murah pastinya. Tapi, capeknya ampun-ampunan deh, selain kaki kita yang terus menekuk sepanjang perjalalanan sehari semalam itu, tidurpun tak bisa nyenyak, meski ngantuk berat! Belum lagi bahaya keselamatan kalau-kalau ada perampok, penjahat, penghipnotis dan sejenisnya ikut juga  bergabung didallam bus, dan duduk disebelah saya pula, iiihh,..ngeri, ah. So, setiap membeli tiket bis, saya langsung berdoa dan berharap , "Ya, Alloh semoga yang nantinya duduk disebelah saya adalah wanita, anak kecil atau ABG, biar aman! Kalaupun ternyata seorang pria, saya berharap dia lelaki tampan setampan Pangeran William, heheheh" itulah doa saya. Meski kadang tak dikabulkan oleh Tuhan, hahahha..


Ilustrasi: Kapal Laut. Sbr foto: disini.
Ada satu hal lagi nih yang saya takuti kalau naik bus. Karena saya berangkatnya dari Jakarta dengan tujuan ke Palembang, otomatis, kalau perjalanannya ditempuh dengan angkutan darat, maka bus yang saya tumpangi harus menyebrangi lautan dengan menggunakan kapal feri. 

Ini juga moment-moment yang bikin saya deg-degan.  Karena, ketika sedang diatas kapal, biasanya hari sudah malam.  Kebayangkan, dua jam berada ditengah laut dan diatas kapal yang gelap pula, aduh mak..  takut kenapa-kenapa euy. Kenapa gelap?  karena posisi saya tetap berada didalam bus  yang parkir berderet dengan mobil-mobil lainnya dalam ruangan parkir yang gelap. Saya takut kalau harus keluar mobil. "Takut ada orang jahat, takut ntar barang yang ada dimobil dicuri orang, dan lebih parah lagi nih, nyasar, lupa dimana keberadaan bus kita, wah, berabe dobel tuh", itulah pikiran yang ada dalam benak saya. 

Ada juga sih beberapa penumpang yang keluar bus dan duduk di kursi yang disediakan di ruangan atas kapal. Ya, mungkin mereka rombongan atau sekeluarga berangkat naik  busnya, jadi ketika ingin menikmati suasana diatas kapal, mereka juga berbarengan. Lah, kalau saya sorangan wae, gak berani ambil resiko, ah! Tapi, Alhamdullilah, setiap saya mudik naik bus, tak pernah terjadi sesuatu yang membahayakan, aman dan lancar.

Tak sampai disitu kisah-kisah yang terjadi kalau mudik menggunakan bus. Jam 5.30 pagi, saya sampai diterminal bus antar kota, tempat saya tinggal. Tanpa jemputan! Saya memang tak mengabarkan keluarga kalau saya tlah sampai di kampung halaman, karena tak mau merepotkan, karena hari begitu masih pagi. Takutnya, merek masih sibuk dengan urusan rumah. Biarlah saya bawa sendiri tentengan yang lumayan banyak dan berat-berat pula. Maklum, kalau saya pulang kampung lumayan lama, sekitar sepuluh hari. Jadi, 'bekal' yang saya bawapun lumayan banyak. Namun, tak masalah saya membawa kerepotan itu sendirian, yang penting saya selamat sampai tujuan. 

Bahkan, kadang saya tak mengabarkan kepada keluarga, kalau hari itu saya akan pulang, biar surprise, hehehe! Beda kalau saya pulangnya naik pesawat, barulah  saya akan minta dijemput, karena saya selalu tiba disore hari biasanya kalau naik burung terbang itu. Jadi, saya  prediksi keluarga saya pasti ada waktu tuk menjemput. Meski begitu, ada kalanya ketika sampai di kampung atau bandara  terkadang saya diam-diam nyampenya, tak memberitahu keluarga, walau memakai pesawat. Sok ngasih surprise gitu deh ceritanya, hahahaha...Tapi, untuk lebaran yang baru saja berlalu kemarin, saya kasih tau kok kapan kedatangan saya, dan kakak iparpun menjemput tepat waktu, hehehe.. Sila intip disini tuk tahu cerita pulkam saya di lebaran 2013 .

Di Lobi bandara, menunggu keberangkatan


Setelah sampai dirumah, bagi-bagi oleh-oleh pun dilancarkan. Karena saya juga gak mau tas saya penuh sama barang-barang yang harus segera diberikan pada keluarga.

Dan...besoknya sudah lebaran aja tuh, hihihi.. lancar dan aman ketika berkumpul sama keluarga, tanpa mereka tau bagaimana  perjuangan saya selama ramadhan, mencari tiket yang rempong,  hingga deg-degan selama dalam perjalanan, hehehe.

Nah, ketika bersafari ria bertandang kerumah dan bertemu keluarga besar lainnya, seperti biasa, pertanyaan rutinpun  muncul: "Bagaimana kabar kamu selama di Jakarta. Siapa teman akrab kamu? Bagaimana kondisi kos-kosan kamu? Didaerah mana kamu tinggal, Kapan menikah?" Dan bla-bla bla...banyak lagi pertanyan lainnya yang harus dijawab, mesti bosan juga saya mendengarnya, karena pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama dari tahun ketahun yang mereka lontarkan pada saya, hihihih.. Dan saya juga harus menjawab yang itu-itu juga pada mereka, hahaha... Yah, namanya juga setahun sekali ketemunya, jadi mereka sudah lupa mungkin ya kalau pertanyaan mereka sudah pernah saya jawab ditahun-tahun sebelumnya. Seperti, saya di Jakarta tinggal didaerah mana dan sebagainya.


Ini kos-kosan saya di Jakarta


Eh, pas balik lagi ke Jakarta, ritual bawa barang yang berat-berat kembali terjadi. Ya,  tas ransel  saya tetap penuh dan berat juga karena berisi oleh-oleh buat teman-teman di Jakarta. Empek-empek dan kemplang, menu wajib ciri khas Palembang yang harus saya bawa dan bagikan kepada teman kantor dan teman kos. Kalau gak, saya bakal diomelin, hehehe. Namun, ketika tentengan yang berat tadi telah mendarat sukses di kosan, alamak leganya bukan main, serasa telah melewati pertarungan berat, terutama perjuangan ketika mau berangkat mudik ke kampung halaman.

Ah, sepertinya, apa yang saya lalui akan terulang kembali ditahun-tahun selanjutnya, selama saya masih berstatus anak rantau. Tapi tak mengapa, ritual 'repot' ketika bertemu dengan bulan ramadhan adalah keindahan luar biasa, melebihi segalanya. Karena akan terbayar dengan kebahagian luar biasa  ketika bisa kembali bertemu dengan keluarga tercinta.


 * Ehem, meski sudah lebih dua minggu berlalu lebarannya, mudah-mudahn tak telat tuk mempublish cerita ini, hihihihi.. 
Ya, mumpung masih dalam nuansa bulan syawal.  
Selamat menunaikan ibadah puasa syawal, bagi yang menjalakannya *.

 

KTP Jadoel


Pernah gak sih, anda membayangkan seperti apa KTP orang jaman dulu? Ya, sekitar tahun 50-an atau 60-an gitu, deh. 

Apakah bentuknya sama seperti yang sekarang kita miliki? 

Atau berbeda...?
Penampakan KTP jadoel

Karena dulu teknologi belum maju dan modern seperti saat ini, tentu KTP jadul, kemasannya belumlah seperti kartuATM (Anjungan Tunai Mandiri) yang keras kalau dipegang dan bisa praktis disimpan di dalam dompet.
KTP jaman dulu, mirip sebuah kartu. Ya, kartu biasa. 
Seperti kartu kalau kita berobat di puskesmas. Terbuat dari kertas kartun. Ukurannya kecil dan berlipat dua. Di bagian dalamnya di sisi sebelah kiri kertas, ada foto diri si pemegang kartu, dan di sebelahnya ada biodata diri.

Masih diketik dengan mesin tik jadul juga, hehehe...

Dan namanyapun, bukan Kartu Tanda Penduduk (seperti kepanjangan dari KTP) tapi Kartu Penduduk.


Kartu ini saya dapatkan ketika pulkam lebaran kemarin, terselip di dalam seperangkat bungkusan yang berisi klise-klise foto jadul juga. Yang kebetulan, ritual bongkar-bongkar album yang satu wadah dengan kemasan klise, selalu saya lakukan setiap pulkam di rumah nenek. Nah, karena emang ingin mengobrak-abrik klise foto jadul, yang niatnya masih ingin saya cuci lagi, maka ketemulah sama si KTP jaman baheulak ini.

Karena ibu saya emang orangnya rapi dan terorganisir dalam menyimpan sesuatu, maka saya masih bisa melihat dan menikmati KTP jadul itu. Meski, warna, foto dan kertasnya sudah tak sempurna. Ya, namanya juga barang lama, hehehe.....

KTP jadoel yang tlah usang

Album Itu Masih Bernyawa


Album jadoel

Album Itu Masih Bernyawa



Melihat kembali masa lalu yang tersimpan rapi dalam album jadul yang masih terawat dan terjaga, sungguh membuat hati bahagia, haru dan bergetar. Ya, membukanya, berarti harus siap dengan kenangan sedih atau bahagia yang akan diceritakan kembali oleh gambar-gambar dalam album tersebut.

Ini cerita pulkam saya lebaran 2013 kemarin.

Pose jadul. Gak ada yg monyongin mulut
Jika pulkam mampir kerumah nenek, saya selalu membuka lembaran kertas tebal yang berisi foto-foto jadul. Kebanyakan sih, beirisi foto-foto Almarhumah Ibu saya ketika beliau masih muda dengan segudang aktifitasnya. Dari masa sekolah, kongkow bersama teman-temannya, ketika beliau mengajar disalah satu sekolah sampai kegiatan pramuka. 

Ada juga foto-foto pernikahannya, foto keluarga, dan pastinya masih ada foto masa bayi, balita dan masa kecil saya. Yang, setelah melihatnya, bukannya saya gembira karena bisa melihat seperti apa sosok saya ketika masih kecil dulu, lah ini kok saya mau nangis dan terharu. Entahlah.......



Apa karena mengingat masa kecil itu gak punya masalah ya? Jadi rasanya pengen nyebrang lagi kemasa-masa itu. Masa disayang sama orang tua. Dipeluk, digendong, dicium dan disayang sama semua orang. Ah, dunia terasa indah.

Tapi ketika sudah besar, cobaan dan masalah datang mendera. Duh..

Tapi, ya namanya juga hidup, kalau gak gitu gak ada cerita yang mewarnai perjalanan panjang ini. Tul, gak?

Gaya  "porno" ketika usia 3 tahunan, hehehe


Ehmmmm...

Betapa salutnya saya melihat ibu yang begitu rapi dan teliti menyimpan gambar-gambar bersejarah itu. Foto tentang pernikahannya, dibuat satu album tersendiri. Foto tentang kematian keluarga, ia pisah juga. Pun, foto kegiatannya bersama teman-teman ketika masih sekolah dan semasa ia bekerja, juga tersimpan rapi. Bahkan, gambar-gambar masa kecil saya yang bahagia dan menggemaskan, juga tersemat di satu album. Dari warna yang masih hitam putih, sampai yang sudah berwarna. 


Dipangkuan Ibu

Entah kenapa, kok, saya terharu ya melihat foto yang ini..hiks...


Bersama Ayah. Lagi tidur, difoto Ibu,hehe
Yeyeye, bapak dan anak..
 

Ya, Walau kondisi albumnya sudah tak kokoh lagi, alias sudah banyak yang robek pada bagian kertas penyambung atau penyanggahnya, plastiknya juga ada yang terkelupas dan sebagainya, namun, cerita didalamnya masih mampu mengingatkan kenangan lama itu. Maklum, sudah kurang lebih 50 tahunan album-album itu "hidup." Untung nyawanya masih ada. Sayapun sempat memutar ingatan masa lalu, ketika memandangi gambar-gambar nostalgia itu. Namun, semakin saya mengingatnya, tetep aja ada beberapa bagian yang terlupakan.


Aha...dibawah ini, salah satu foto masa kecil yang  saya suka. 

Duh, apa saya gak takut kecebur ya..?


Aih...Wahai diriku.... pegangan yang kuat ya di dahannya.
  
Ehmm...ini dia bersama si kembar, yang salah satunya telah tiada, ketika berumur 9 tahunan.
  
Si kembar. Kangen ah sama kalian..

Nah, ini gaya Ibu saya (yang pegang buku) bersama teman-temannya.. 
Sok-sok ngobrol dan pura-pura gak ngeliat kamera gitu deh..


Boleh juga aksinya, hehehe

Dan kini......
Anaknya juga ikutan foto pura-pura ngobrol dijalan, sok-sok-an gak ngeliat kamera juga.
Seperti gambar dibawah ini..



Aih mak, serasa beneran jadi  model

Eh, Ibu saya juga ternyata punya foto dengan bergaya mekarin  kain/ gaun. 
Saya juga punya tuh. Cuma pose anaknya lebih alay dan centil, hahaha



Pede, berpose ditrotoar! Jauh dari malu, hihihi
Duh, gayanya  masih malu-malu ya, heheh


Ada lagi nih gaya gadis sembunyi di balik dedaunan besar. Eh, ternyata saya 
 juga melakukan hal yang sama. Cuma, beda gaya sedikit doang, hehehhe...


Daun apa ini namanya, ya..?



Dan ini..
Foto "Ala Kartinian" jaman dulu.
Kebayanya benar-benar kebaya Kartini banget ya.


Ibu saya (paling depan) dengan kebaya Kartini-nya


Nah, yang ini, Ibu saya diapit oleh dua orang kakak sepupu saya.
Duh, rambutnya kakak saya panjang bener ya.....
Panjang ala jaman dulu banget , hehehhe...

Nice.....


Kok kayak gadis bangsawan gitu ya, hahhaha..

Klise-klise jadul dari foto-foto bersejarah itu, juga masih tersimpan rapi disatu tempat. Sedih saya. Mudah-mudahan sifat telatennya ibu, menurun ke saya. Eh, udah nurun belum ya, hihihihi....  


Beberapa 'Slongsong' klise yang masih tersimpan
Nah, saking saya pengen tuk mencuci ulang itu foto, karena warnanya banyak yang sudah pudar, ya biasa karena termakan usia foto. Maka sayapun menjeprat-jepret ulang foto-foto yang tersimpan di album yang masih bernyawa itu, melalui Handphone. Selain itu, klise jadulpun saya coba tuk dicuci ulang lagi, karena ada beberapa foto yang hilang dari album.  Penasaran saya, gimana sih hasilnya kalau klise jaman baheulak itu "direinkarnasi" lagi? Meski saya sudah bisa menebak, kalau hasil warna fotonya pasti udah kabur dan gak maksimal. 

Klise Foto jadul
Untung masih ada beberapa studio foto yang mau menerima permintaan alay  saya tuk mencuci foto dari klise jadul yang ukurannya super keciill itu. Meski tak semua studio foto mau menerimanya dengan alasan repot atau susah nyeting mesin, dll. Padahal, ternyata di studio tempat yang mau menerima cuci foto klise saya itu, rupanya mereka hanya menscan saja itu klise, trus muncul deh fotonya dilayar monitor, tinggal di crop dan diatur aja posisinya. Jadi, harusnya gak perlu pake istilah nyeting mesin dan sabagainya. Mungkin karyawan studio foto itu aja kali ye, yang malas menuruti permintaan aneh saya, hahahha... 

Wajar sih...

Hare gene...masak nyuci foto masih pake klise. Wong sekarang orang sudah cetak foto dari HP atau kamera digital semua, yang file-filenya akan tersambungkan di komputer. Bukan seperti jaman 90-an lagi, yang kalau mau cuci foto harus menyiapkan dulu spidol, buat menandai yang mana klise yang akan dicuci dan mana yang tidak. Iya, kan..? Hayo, ngaku...siapa nih  yang suka maen spidol kalau mau cuci foto? hahaha....


Dan foto yang dicuci dari hasil klise jadul itu, kini sudah ada hasilnya. Meski seperti yang sudah saya duga sebelumnya, hasilnya gak maksimal. Ya,namanya juga klise jadul, hihihi. Tapi, paling tidak saya masih bisa mengeditnya di kompi. 

Kenapa saya ingin memasukkannya ke kompi, ya salah satu alasannya saya ingin punya banyak tempat penyimpanan foto. Selain disimpan di dunia nyata, pengen juga di taruh didunia maya, hihihi. Supaya kalau salah satu ada yang hilang, masih bisa ditemukan di tempat penyimpanan lain. Tul, gak..? 

Nah, ini dia beberapa hasil foto yang warnanya sudah saya utak atik di kompi. Syukurlah masih bisa jelas terlihat, meski agak memudar.


Saya, berumur beberapa bulan, sedang marhaba/akiqah

Udah 6 bulan nih...Imuuutt...


Lagi mandi juga difotoohh.. dari kecil udah diajarkan untuk narsis nih, hihihi

 Ketika berusia 1 tahun. Kok bengong, sih?
 

Usia 2, 5 tahunan


Usia 6 tahunan
 

Usia 10 tahunan

My Mom, ketika beliau masih muda

NOW!  Ups...gayanya narsis, hihi

Ah,senangnya masih bisa melihat foto-foto jadul. Untunglah, ibu saya sangat rapi menyimpannnya. Jadi, anak dan kelak cucunya nanti masih bisa menyaksikan memori lama itu. Ya, memori lama tentang neneknya dan juga memori sejarah hidup saya sendiri. 

Ehmm....saya yakin banyak orang tua yang menyesal karena foto-foto jadul mereka ada yang hilang atau entah kemana rimbanya karena klise atau foto-fotonya tak disimpan dengan baik. Sehingga tak bisa lagi melihat foto-foto anaknya ketika masih kecil dulu, atau foto mereka sendiri ketika masih muda. 

So, menyimpan foto-foto jadul, klise, atau kini sudah lebih modern lagi menjadi bentuk CD, ternyata bukan hal yang sepele, bukan?

Ah, untunglah saya masih punya kenangan itu.

Dan album itu.... masih bernyawa sampai saat ini. Meski, nyawa saya juga harus ketar-ketir menahan air mata dan haru ketika melihat gambar-gambar penuh cerita itu.

Oh.....

Koleksi Album jadoel Ibu saya


Sumber Foto : Koleksi Pribadi.

Cerita Pulkam



Cerita Pulkam


Pulkam lebaran tahun ini adalah yang paling berkesan bagi saya dibanding tahun tahun sebelumnya.  Dari kemeriahan keluarga besar yang merayakan hari kemenangan, melihat ponakan-ponakan yang sudah tumbuh besar, masakan khas Palembang yang berseliweran di setiap rumah (yang selama ini, itu penganan jarang sata temui ketika nongkrong di Jakartaah), ke makam ortu dan bermalam dirumah nenek di rumah tua, melihat foto-foto memori lama yang penuh kenangan, dan makan lauk kampung....Cihuuyy..Oh..kenikmatan yang sangat syukuri.

Harusnya sih, eh..pengennya sih H-1 lebaran saya mudiknya..tapi...akibat salah prediksi alias sok ngeprediksi jatuhnya hari lebaran, maka  ketika hari H justru saya baru mudik. Alhasil, malam takbiran masih dilaluui di Ibukota  ini, dan tetep kerja cuy....... Tapi, ah menikmati romansa malam lebaran yang selalu berbeda setiap tahunnya, emang banyak bikin kisah baru dalam hidup..Tsaaahh.. Ya, apalagi kalau bukan kisah serba serbi seorang perantau kala lebaran tiba. 

Pagi hari di lebaran pertama, ketika sedang berada didalam  angkot menuju ter minal tuk naik DAMRI arah Bandara, saya  melihat banyak orang lalu lalang  orang dengan baju baru ala lebaran, merayakan hari kemenangan di Jakarta. TPU yang letaknya disebelah Universitas Negeri Jakarta UNJ, jalan yang saya lalui tuk menuju terminal rawamangun, maceeetnya ampun-ampun dah, karena banyak orang yang berziarah. Haduhh....Deg-degan jantung ini..takut takut kalau telat nyampe dibandara tuk boarding time, yang harusnya disaat itu saya sudah ada di kampung tercinta, hikssss...

Ngumpul bersama euy....lebaraaaannn...
Namun untunglah itu tak mengurangi rasa kebersamaan dan ajang kumpul-kumpul silaturahmi saya dan keluarga besar. Ketika pesawat yang membawa saya ke kampung halaman tiba  jam 4 sore di bandara tercinta, ..saya pikir saya telah telat bersafari kerumah-rumah sanak kelurga yang lain. eh, gak taunya, kata kakak ipar yang ngejemput di bandara, baru beberapa rumah keluarga  kok yang dikunjungi, karena molor dan tak berhitung waktu, hihihi. Alhasil, saya jadi ikutan kebagian safari kerumah-rumah keluarga, meski akhirnya larut malam barulah selesai itu ritual ketuk pintu ke pintunya. Yipi senangnya  bisa mencicipi keseruan safari lebaran tahun ini. Apalagi, banyak makanan yang tersaji ketika mengunjungi masing-masing rumah. Ya, iyalah  lebaran namanya ya..hehhehe..


Yaay, makanan berlimpah di rumah kakak...Yuk, makaaann..
Selain bisa menyantap masakan khas lebaran, melihat keseruan dan kehebohan ponakan-ponakan yang lucu-lucu, juga menjadi penggembira sendiri buat diri saya, yang kalau gak lebaran, ya jarang banget ngeliat ponakan pada rame ngumpul  semua. Mereka main bola sore itu. Tepatnya rebutan bola bareng kali ye.. Cekikikan, teriak-teriak gaduh. Pokoknya...bersaing dengan rumpian para emak-emaknya yang kecapean dari jalan-jalan, heheheh.. Mereka bermain disalah satu kamar kosong di rumah sepupu saya yang baru dibangun dan ditempati.. Ah, rame...



Ponakan main bersama...Horeeehh...Seru banget nih....





Dirumah Era, salah satu teman masa kuliah
Hari ke dua dan ketiga pun, saya masih lanjut bersafari ria. Tapi, kali ini tak bersama keluarga besar tentunya. Tapi, hanya saya dan keponakan yang udah duduk di bangku SMU. 

Seperti biasa, setiap lebaran, dengan memakai motor kebangsaan hasil jerih payah sendiri, yang memang saya tinggalkan di kampung, saya  pasti main kerumah teman-teman masa kuliah dulu yang kini sudah punya anak kecil, hehehe.. ..

Senang rasanya melihat hasil karya (baca: anak) teman-teman yang sudah tumbuh dengan lucunya. Dan lagi-lagi........ Pempek,  masih menjadi sajian utama yang saya nikmati. Saya selalu menemukan makanan ini di hampir setiap rumah yang saya kunjungi. Gak ada matinya ya emang.! Top dah pempek.!



Di rumah Ida, juga salah satu cs masa kuliah


Mojok di teras rumah nenek
Hari keempat, saya pulkam ke rumah nenek di kampung, di salah satu kabupaten yang kurang lebih 1,5 jam jaraknya dari Palembang.  

Ah, kalau dah sampai di kampung nenek...teringat masa kecil ketika berada di dalam rumah tua yang tak lagi kokoh itu, yang  jarang saya kunjungi karena keberadaan saya yang tinggal di Jakarta sejak 8 tahun ini. 

Ada uwak (kakak  pertempuan  ibu saya) dan sepupu (anak uwak) yang menempati dan merawat rumah nenek. 

Kaget saya melihat uwak yang kondisinya sudah memprihatinkan. Sudah semakin tua. Usianya kurang lebih 80 tahunan.


Bersama Uwak




Kini, ia sudah menyusui dan pikun.  Ia tak lagi mengigat siapa saya. Sudah tak bisa kemana mana lagi. Pipis dan "buang hajat' pun sudah dilakukannya di kasur. Mandipun ya dimandikan oleh anak uwak.
Semuanya diurusi. 

Padahal, dua tahun lalu, ketika saya kesana, uwak masih bisa jalan, berdiri, diajak ngomong masih nyambung dan masih mengingat saya, meski matanya tak lagi melihat karena katarak yang dideritanya belakangan ini. Untunglah sepupu saya, (anak Uwak yang bungsu) sabar dan setia menjaga  dan merawat uwak, meski ia laki-laki. Mudah-mudahan  sampai akhir hayatnya, uwak tetap dirawat dengan baik oleh kakak sepupu saya.


Untung juga masih banyak keluarga dan sepupu lainnya yang  masih tinggal di dekat rumah nenek, yang ditempati oleh uwak. Anak-anak uwak yang lainpun, juga tinggal tak jauh dari sana.  Jadi,  masih bisa memantau. Dan saya juga terasa ramai, kalau pulkam ke tempat nenek.

Sudut Rumah Nenek


Di pusara Ibu
Nah, karena sudah dikampung dan berada di  rumah nenek nenek,saya pun gak lupa dan wajib harus mengunjungi makam Almarhumah Ibu saya, yang letaknya tak jauh di belakang rumah nenek.

Sudah 20 tahun makam itu bersemayam disana. Selama ini, saya tak pernah berfoto di makam Ibu, yang bersebelahan dengan makam nenek, kakek,  uwak-uwak, sepupu dan keponakan yang sudah mendahului saya. Jadi, setiap kali ke makam Ibu, saya juga nyambi kemakam keluarga yang lainnya. Hikss...



Sepupu saya juga temani kemakam
Duh, kalau ke makam Ibu, pasti saya nangis. Selalu curhat sama beliau. Kangen banget. Rasanya saya gak mau beranjak dari sana, Saya serasa sedang berada disamping Ibu. Namun, ya ..gitu deh.. Semakin saya lama berada di makam Ibu, semakin sedih euy... mengingat masa- masa hidup bersama beliau. 

Ah..sudahlah, ,,,

Mudah-mudahan dengan rajin mendoakannya, itu sudah cukup membuatnya bahagia.


Melihat album foto jadul










Oh ya, ritual lain saya kalau pulkam ke tempat nenek, adalah buka-buka album lama yang masih tersimpan rapi didalam 
lemari. Almarhumah Ibu saya memang telaten dan teliti orangnya kalau menyimpan sesuatu. Hingga, saya masih bisa melihat foto-foto kenangan dan perjalanan beliau ketika masih hidup, dan juga foto kenangan saya ketika masih kecil. Aih, lucu dan bikin terharu...Pengen nangis. .

Kali ini, saya malah mengubek-ngubeknya lebih dalam lagi. Eh, masih ada klisenya rupanya. meski klise jadul. Eits, saya juga menemukan KTP jaman dulu...Bentuk nya seperti apa ya...? Ehmm...Kisahnya nanti akan saya tulis special di tulisan selanjutnya.

Kebahagiaan lain ketika pulkam itu, selain berkumpul besama keluarga, saya bisa  berjibaku dengan peralatan dapur. Masak, ngulek cabe, bawang, numis, goreng atau apalah ya, yang selama ini kegiatan itu jarang dilakukan di kosan.
So, terharu bisa ngulek cabe lagi... Bisa bikin masakan racikan sendiri. dan menyantap lauk ala dusun. Pindang patin, lalapan, sambal terasi dsb, seperti masakan yang terhidang di rumah nenek ini.



Lauk ala kampung kami


Ah, ketika saya bisa masuk ke pasar tradisional beli sayur, ini juga kegiatan yang ngangenin.. Belajar tawar-menawar lagi dengan para penjual sayur. hihihi. 

Kangen juga melihat-lihat suasana jalanan di kota empek-empek ini yang pembangunnnya udah berkembang. Sudah banyak mall dan tempat perbelanjaan, komplek perumahan menjamur kemana-mana, yang dulu sepi sekarang dah rameeehh. Kalau mini market..ehm... jangan ditanya... berhamburan... 

Pelebaran, pembenahan dan pembangunan jalan baru sudah banyak. Aih..senang rasanya.

Dan terima kasih Tuhan, atas cerita yang berkesan ketika 10 hari berada di kampung halaman tercinta. 

Dan kini, Alhamdullilah, saya selamat sampai kembali di Jakarta, dengan seabrek oleh-oleh dari kampung buat temen-temen di Jakarta. (Alhamdullilah masih bisa beli oleh-oleh, hehhe).

Semoga rezekiku bertambah banyak,.Amiinn...

Mudah-mudahan di tahun depan, cerita edisi lebaran pulkam, lebih seru lagi. Meski setiap habis pulkam selalu MENGHITAM (karena jalan mulu disiang bolong), MENGGEMUK (karena makanan berlimpah dan berlemak semua) dan badan remuk redam, sampe harus dua kali pijitan karena kecapekan... Dan, tulisan inipun akhirnya baru dipublish hari ini, karena harus menunggu pemulihan raga dulu........oh....